kumpulan cerpen : cerita pendek terbaru, kumpulan puisi, novel, serta hal-hal menarik yang terjadi disekitar kita.....

CERITA PENDEK CINTA | CINTAKU BERAKHIR PADAMU YANG SINGLE PARENT




CERITA PENDEK CINTA | CINTAKU BERAKHIR PADAMU YANG SINGLE PARENT


 
Memula cinta dengan seorang yang pernah terlebih dahulu membangun mahligai cinta dengan yang lain ternyata tak semudah yang kubayangkan…

Kini dia bukan suami orang, dia hanya mantan suami orang. Mahligai cinta yang pernah dibangunnya kini pun telah usai, kisah cinta dimasa lalunya telah berakhir. Kini ia hidup dengan harapan baru merancang masa depan layaknya setiap manusia yang tetap membutuhkan cinta dalam hidupnya.

Garis kehidupan telah ditentukan …

Manusia hanya bisa berencana, sedangkan Tuhan lah yang menentukan segalanya….

Sama halnya dengan dia, akupun manusia biasa, punya harapan untuk dicintai dan mencintai, harapan yang cukup besar untuk menghanyutkan cintaku pada muara pernikahan.

Layaknya wanita lain yang tumbuh dewasa, tak pernah berkhayal untuk memiliki calon suami laki-laki yang pernah mengalami kegagalan pernikahan. Begitu juga aku. Kahayalku  ingin memiliki calon suami lajang, yang kelak sama-sama belajar mengarungi kehidupan baru sebagai suami istri. Sama-sama menjadikan pembelajaran berkeluarga sebagai pengalaman pertama dan terakhir.

Sekali lagi,… inilah rencana Tuhan …. Tak ada manusia yang mampu menolak kehendak-Nya. Namun, manusia wajib meyakini setiap kehendak Allah adalah untuk kebaikan hamba-Nya, meskipun terkadang harus melewati liku-liku kehidupan yang menyakitkan. Karena yang terbaik dimata kita, belum tentu itu yang terbaik dimata Allah, sesuatu kita kira buruk malah itu yang menurut Allah baik untuk kita. Allah Maha Mengetahui, manusia hanya bisa menerka.

Akupun demikian, selama ini hanya mampu menerka kehidupanku, bahwa penghujung dewasaku, ku akan menikah dengan seorang laki-laki bujang untuk menghabiskan separuh hidupku yang tersisa. Terkaan itu bukan tak beralasan. Perjalananku menapaki arah cinta selalu disinggahi laki-laki bujangan, wajar aku berhayal demikian.

Namun, usiaku yang menginjak 25 tahun, belum ada laki-laki single yang mampu meyakinkan hati, bahwa dirinya lah yang layak menjadi imamku. Hingga putaran cinta mengitari hati berhenti disatu titik, saat laki-laki ini menghampiri ku. 

Pertemuan berawal dari hubungan kerja, aku hanya pendatang baru dikota besar ini. Aku kesini ingin bekerja, mengisi hari-hariku layaknya wanita yang hidup dizaman modern ini, memiliki karir menjadi satu kebanggan, ketimbang menjadi wanita rumahan…

Ya… walau pandangan sepertiku tak selamanya dibenarkan. Wanita ini telah Tuhan tinggikan derajatnya, mengais puing-puing keuangan tak dibebankan padanya. Selama ia belum menikah, sang ayah akan siap menghidupinya, setelah menikah suami akan menafkahinya, tugasnya hanya berada dibalik rumah, menjaga kehormatan dirinya, belajar menjadi calon pemilik rumah, yang kelak akan faham bagaimana menjaga rumah suaminya.

Apakah wanita bekerja itu tak menjaga kehormatan?... Pertanyaan itu pasti akan muncul jika kita membandingkan wanita rumahan dengan wanita yang sibuk bekerja. Dan pertanyaan itu akan berbalik kesatu makna hadis yang pernah kupelajari  “wanita itu lebih baik shalat dirumah, ketimbang shalat dimesjid yang tanpa ditemani muhrimnya”. Woow …! Luar biasa, bahkan untuk shalat saja yang jelas-jelas tiang agama kita sebagai muslimah, kewajiban kita sepanjang hayat yang tak peduli keadaan apapun dan hanya akan berakhir ketika nyawa dan jasad terpisah, begitu Allah istimewakan untuk wanita, kita lebih baik shalat dirumah saja kalau kemesjid tak ada saudara yang menemani.

Nah sekarang kita bekerja, keluar rumah, tentunya gak mungkinkan ngebawa saudara laki-laki atau siapalah saudara kita. Pasti kita akan pergi dan pulang kerja sendirian, belum lagi ditambah acara luar bareng teman kerja yang tentunya bukan muhrim, segala pandangan termasuk padangan laki-laki yang bukan muhrim tertuju pada kita, bukan tak mungkin itu menjadi fitnah yang bisa mengurangi kehormatan kita….

Pasti ada sanggahan lagi,  Banyak juga lho wanita muslimah bekerja dan bisa menjaga harga dirinya !, Itu berbalik kekita, misal menjaga cara berpakaian kita, berpakaianlah layaknya muslimah sejati, ato lainnya yang bisa dilakukan untuk menghindari fitnah, dan …..aku gak bakalan ngejelasin panjang lebar tentang itu, aku bukan pakarnya, terlalu banyak dalil-dalil yang gak aku fahami.

Aku hanya akan menulis kisah cintaku yang mungkin bisa menginspirasi…
Bekerja ya bekerja, urusan hati ya, jadi masalah hati. Bukan rekan kerja sih, tapi sering jumpa dalam lingkungan yang sama, nyatanya ada sinyal yang mencuat dihati ini. “mungkinkah aku mencintainya?”. Sinyal begitu kuat seolah mampu menyatu dengan sinyal yang ia pancarkan dari hatinya, begitu kudengar dari salah satu rekan kerjaku, tepatnya ia juga dosenku semasa kuliah dulu “Nurul, kamu mau tidak jika ibu jodohkan dengan seseorang?”

Cerita berhujung cerita, akhirnya muncullah namanya “Reza”. Ya, ialah lelaki yang selama ini kukagumi, yang membuatku berbunga-bunga setiap kali berjumpa dengannya. Tak menunggu lama, akupun mengiyakan.

Hingga akhirnya kami semakin dekat dan berani menyatakan perasaan masing-masing, dimana mulanya kami saling mengagumi hingga akhirnya saling mencintai. 

Namun, keraguan muncul saat ia mengungkapkan jati dirinya,”aku seorang duda, dengan satu putri yang berusia 3 tahun, aku sudah bercerai dengan istri lebih kurang 2 tahun”.

Keraguanku mulai bangkit perlahan-lahan, seiring mulutku yang mengangga mengisyaratkan betapa kagetnya aku dengan lelaki yang kukagumi ini, yang dari dulu kukira pria lajang. Bahasa tubuhnya tak menampakkan sedikitpun padaku, ia pernah menikah bahkan memiliki seorang anak.

Sejak tahu ia duda, baru kumulai memperhatikan, dimana ya ku bisa membedakan bahwa ia memang sudah beda dengan sosok laki-laki lain yang belum menikah, rasanya tak ada. Ia sama dengan yang lain, namun keraguanku tak bisa hilang begitu saja walau aku tak menemukan sedikitpun perbedaan ia dengan laki-laki lajang. Keraguanku mulai memunculnya tanya-tanya di benakku, kenapa ia bercerai? Apakah ia yang meminta cerai atau istrinya? Kalau istrinya yang menceraikannya, apakah jahat laki-laki ini? Lalu kenapa anak umur 3 tahun diasuh oleh ayahnya, bukankah seharusnya anak segitu hak asuh ada pada ibunya?, apakah ia merebut hak asuh anak dengan paksa dari istrinya?...

Tanyaku itu ibarat batuk yang kutahan hingga otot perutku terasa sakit, ingin bertanya langsung takut menyinggung, ingin bertanya pada orang yang dekat padanya, takut-takut malah membuka aibnya, yang malah bisa membuatnya jauh lebih marah. Sempat berminggu-minggu memendam dengan keraguan yang menyakitkan, baru kali ini menemui laki-laki yang tepat, koh malah punya masa lalu cinta yang kelam.
Ku mencoba mendorong diriku sendiri untuk bertanya segala penasaran yang terus bertumpahan dibenakku. Aku harus bertanya semua itu, untuk kelanjutan cintaku. Kuakhiri kembali atau kali ni ku memilih melanjutkan cintaku hingga kejenjang serius. Ia pun menjawab semua tanyaku bak narasumber yang diwawancarai reporter. 

“Aku berpacaran dengannya lima tahun, sejak masih kuliah. Aku menikahinya karena sebuah kesalahan yang kulakukan yang sebenarnya itu semua kebohongan. Aku menikahinya saat ia telah hamil 6 minggu. Ia mengatakan itu anakku, aku yang juga sayang dengannya bertanggung jawab dengan semua kesalahan itu, menikahinya disaat sebenarnya aku belum siap berkeluarga. Namun, setelah kami menikah 2 tahun lamanya. aku bercerai dengannya karena ia selingkuh dengan temanku semasa kuliah. Disitu terbuka bahwa anak ini, anak dari lelaki itu, bukan anakku. Semua yang dia ungkapkan dulu sampai-sampai keluargaku marah adalah omong kosongnya, ia berbuat kesalahan dengan orang lain tapi menuntut tanggung jawab padaku”, kisahnya yang tak kubiarkan berakhir karena kumerasa masih ada yang ingin kutanyakan.

“Lalu kenapa anaknya ada dengan abang, bukan dengannya?”,tanyaku mula-mula yang begitu penasaran kenapa ia malah merawat anak ini yang justru bukan anaknya. “Entah lah, Rul. Entah ini sebuah kebodohan atau tidak. Aku berada disisinya, saat ibunya mengandungnya, aku menyambutnya saat ia lahir kedunia, berada terus disisinya saat ia tumbuh dari hari kehari, yang lebih penting sudah terlanjur tertanam kuat dihati kalau dia anakku, maka sulit aku melepaskan anak itu pergi dengan ibunya”, jawabnya.

 “Ibunya gak marah-marah atau usaha keras lewat pengacara untuk minta hak asuh anak padanya yang jelas abang sendiri bukan ayah biologisnya?”, tanyaku kembali yang ia jawab ”sempat meminta, namun setelah hak asuh anaknya ada ditangannya malah ia milih pergi dan meninggalkan anaknya padaku”

Aku terdiam sejenak. Sebenarnya masih ada pertanyaan yang ingin kutanyakan. Kenapa dulu ia bisa yakin berbuat kesalahan dengan ibu gadis kecil itu lalu menikahinya. Apakah dulu ia memang bercinta dengan kesalahan. Namun, ada seperti batu yang menahan kata-kata itu keluar dari kerongkonganku, malah hawa penyejuk lainnya yang memunculkan kekagumanku padanya, terlepas ia laki-laki jahat atau tidak, ia adalah laki-laki penyayang. Ia menerima putri mungil itu, membesarkannya seorang diri semenjak anak perempuan itu berusia 1 tahun dan kini sudah lebih dari 3 tahun usianya.

Ku pun bisa memperhatikan ketulusannya menjadi ayah untuk putri cantik itu. Tak kan ada orang yang kan menyangka itu bukan putrinya kalau ia tak bercerita, walaupun memandang raut wajah lebih dekat memang tak ada kemiripan, namun itulah kuasa Allah, tak kan menyia-nyiakan khalifah ini lahir kedunia, meski secara kasar ia lahir karena dosa orang tuanya ia tetap makhluk suci, sehingga setiap mata yang memandang terlanjur menunjuk ia mirip papanya, papa Reza, lelaki yang kucintai.

Lama aku tertegun dengan alur kehidupannya. Rasanya masih banyak yang ingin kuketahui tentang masa lalunya. Lagi-lagi seolah malaikat baik disisiku menghalangiku untuk bertanya banyak.”Kamu tidak akan hidup dengan dia dimasa lalunya. Kamu adalah bagian masa depannya. Tak ada manusia yang sempurna, semua manusia punya kekurangan dan kelebihan. Maka Allah menciptakan pasangan. Kelebihanmu untuk menutupi kekurangannya. Sebaliknya kelebihannya menutupi kekeuranganmu, disitulah baru ada kesempurnaan cinta yang Allah anugrahkan untuk kalian.”, batinku sendiri menasehatiku.

“Sekarang saya ingin memulai yang hubungan baru dengan kamu. Kamu tau kan saya ini sudah jadi seorang ayah, tentunya saya mencari istri dan ibu untuk anak saya, bukan pacar lagi. Dengan segala masa lalu saya, apa kamu masih mau menerima saya ?”, ucapnya membangkitkanku dari pandangan kosong.

Kalimat itu jelas menghentak otakku untuk memikirkan jawaban apa harus yang kuberi untuknya,”rasanya laki-laki ini, bukan orang jahat. Gak sepenuhnya kesalahannya dalam kegagalan pernikahannya terdahulu. Lagipula semua yang terjadi itu hanya sebab, pada hakikatnya, segitulah takdir Tuhan tentang perjodohan mereka”.

Aku tak memberinya jawaban seketika itu juga, aku terus menimbang jawaban yang tepat kuberikan untuknya, hingga akhirnya jawaban keluar dalam istikharahku, ia lah laki-laki yang kucari, laki-laki yang kuyakini mampu mengimamiku.

Akupun menerimanya. Mengiyakan ajakannya untuk menikah. Mau menjadi ibu untuk putri kecil itu, yang jelas bukan putri calon suamiku. Di darahnya tak mengalir darah calon suamiku. Sayangnya ia pada putri kecil itu juga yang menganggukkan kepalaku saat mengiyakan ucapannya ia putriku dan ia juga akan jadi putrimu, putri kita.

Namun, jalan terjal belum habis terlewati, ia perlu meyakinkan anaknya yang kini sedang tumbuh, yang sempat bertanya mana ibunya. 

Ia mengenalkanku sebagai bunda baru pada anaknya. Mulanya putri kecil itu tampak canggung denganku. Sempat beberapa kali kami jalan bersama ia tak mau duduk denganku. Memegang tanganku saja masih enggan. Ia juga menolak kupeluk.

Meyakinkan anak kecil memang cukup menguras tenaga. Tak cukup satu minggu, bahkan mencapai hitungan bulan, ia memohon padaku agar tak letih untuk dekat dengan anaknya.

Pikiran jahatpun sempat muncul, rasanya aku tak peduli, gadis belia ini menerimaku atau tidak. Karena ia tak ada sangkut pautnya dengan calon suamiku. Terlebih saat ku tahu betapa renggangnya hubungan calon suamiku dengan keluarganya karena ibu putri ini dan karena putri ini juga. Sampai hari ini, ibunya tak bisa menerima kehadiran gadis kecil ini disisi anaknya.

Namun, fikiran jahat itu segera luluh saat putri kecil ini datang mendekatku ”Bunda, apakah bunda ini mamaku yang dibilang papa sedang pergi jauh? Aku rindu mamaku, bunda?”

Ada rasa ngilu dihati dengan ucapannya. Membayangkannya menjauhiku beberapa waktu lalu, namun sebenarnya dalam hati kecilnya ia rindu ibunya. Aku pun bisa  merasakan penolakannya beberapa waktu lalu, itu hanya wujud kerinduan anak yang berbalut ketakutan, ia mungkin sangat berharap ibunya yang datang memeluknya, bukan pengganti ibunya. Sejahat apapun seorang ibu tetap kasihnya yang mampu menyinari kehampaan jiwa seorang anak, begitu juga dengan gadis mungil ini.

Lalu apa yang sudah dikatakan ayahnya pada gadis ini, hingga malaikat kecil ini bisa mengatakan ibunya sedang pergi jauh? tidak pernahkan ia bertemu ibunya sejak kedua orang tuanya berpisah?”. Aku bukan wanita berpengalaman menghadapi anak kecil. Betapa bingungku merangkai jawaban untuknya.

“Bunda sayang kamu, nak. Bunda datang dari jauh mau peluk Niki. Boleh bunda peluk nak?”, jawabku yang entah salah atau benar.

Tak kusangka ia menyedorkan tubuhnya memelukku erat. Menegadahkan wajahnya yang sempat tertunduk dibadanku, untuk mengeluarkan kata,”Bunda, Niki gak mau kehilangan bunda lagi, Niki pingin kek anak-anak yang lain dijemput mamanya kesekolah, tiap liburan pergi sama mama-papanya. Sementara Niki selama ini hanya ditemani papa sama kakak Ina”

Bola air mata sempat menitik, mendengar keluh anak tak berdosa ini. Anak yang terpaksa menjadi korban kesalahan orang tuanya di usia yang begitu belia. Diusia yang seharusnya ia berada dalam pangkuan ibunya, dibelai papanya. Namun ia hanya kenal sosok sang papa, itupun buka papa kandungnya. Papa yang hari-harinya pergi bekerja, yang menitipkan ia pada baby sitter. Sang papa yang hanya sabtu-minggu punya waktu dengannya. Dekapan sang papa yang tidak ikut menyumbang darah untuknya, tentunya itu dekapan orang asing yang berbeda dengan kelembutan pelukan ibu.

Akhirnya satu rintangan terlewati, bocah cantik ini menerima ku sebagai pendamping papanya, walau rasanya, ia masih belum faham dengan kisah hidupnya, juga kisah papanya.

Kerikil lainnya yang harus kami pindahkan dari tengah jalan ini adalah meyakini orang tua. Orang tuaku dan orang tuanya. 

Mulanya orang tuaku. Menerima anak gadisnya menikah dengan duda, ternyata bukan perkara mudah untuk mereka. Ada ketakutan-ketakutan yang membayangi mereka.

Takut-takut, kalau lelaki ini begitu jahat dulunya dengan istrinya hingga istrinya minta cerai. Akupun sempat ingin menceritakan bagaimana kelam masa lalunya. Namun, segera kuurungi niat itu, aku telah menerimanya, masa lalunya tak kan ungkit. Kini kumeyakini dia lelaki baik, cerita perjalanan cinta ini dihari depan ku pasrahkan pada sang pemilik cinta. Ku hanya bisa berdo’a ini pernikahan pertama dan terakhirku. Ia jodohku dunia akhirat. Insyaallah Tuhan kan persatukan kami didunia, dan insyaallah kelak juga Allah kan himpun kami di akhirat.

Ketakutan orangtuaku lainya kalau putrinya ini tak mampu menjadi ibu untuk anak dari pria yang dipilih menjadi calon suaminya ini. Wajar ketakutan itu, aku yang anak manjanya tiba-tiba harus menjadi ibu untuk balita, tanpa melalui proses terlebih dahulu.

Aku meyakini orang tuaku, semua itu hanya kekhawatiran yang berlebihan yang biasa dirasakan orang tua ketika melepas anaknya menuju pelaminan. Menikah dengan lajang atau duda sama saja. Intinya pernikahan diwujudkan untuk mencari keridhaan Allah. 

Memang tak sesulit menyakini putri kecil calon suamiku, orang tuaku cukup faham dengan anak gadisnya ini, kepercayaannya padaku yang tak mungkin memilih laki-laki yang salah sebagai pendamping hidupku akhirnya berujung pada restunya untuk menikahiku dengan laki-laki ini.

Disaat izin orang tua telah kugenggam, akupun beralih pandang sejenak padanya. “Aku menerima kamu apa adanya, bang. Aku menerima putrimu, aku siap menjadi ibunya, merawatnya seperti anak kandungku sendiri, dan aku menghormati orang tuamu layaknya orangtua kandungku. Sekarang giliranmu, apa kamu mau menerimaku apa adanya dan mau menerima keluargaku menghormati orang tuaku layaknya orang tua kandungmu?”

Cinta memang mampu mengubah segala yang ada pada diri manusia yang sedang dimabuk cinta. Mengubah jarak selama ini jauh, untuk menjadi begitu dekat. Jawabannya meyakiniku memang tak ada lagi penghalang yang dapat memisah cinta yang sedang mekar dihati kami.”Aku mencintai kamu lalu aku akan memintamu pada orang tuamu, mana mungkin aku tak menerima pemilik orang kucintai ini. Aku menghormati orangtuamu seperti orangtua kandungku sendiri”.

Perlahan-perlahan kami mampu melewati rintangan, kali ini ia yang memegang tanganku untuk menemaninya memohon restu pada keluarganya. Keluarga yang ditinggalkannya sejak ia memilih menikah dengan ibu putri kecilnya.

Dibalik apapun tentang rencana pernikahan ini.

Yang tampak saat awal aku datang dipintu rumah calon mertuaku, keharuan yang luar biasa yang membuat air mataku menghujan tanpa kusadari. Membuat kerongkonganku menutup untuk mengeluarkan suara. 

Membuat darahku berhenti mengalir sehingga hanya bisa mematung melihat ibu dan anak berangkulan dalam air mata yang tumpah ruah. Sang anak memohon maaf atas kekhilafannya, sementara sang ibu menyambut bahagia bercampur keharuan putranya mau kembali kerumahnya. Berucap pernah marah pada putranya, namun tak pernah dendam. Kembali atau tidak putranya kerumahnya, maaf selalu untuknya, doanya selalu mengalir untuk putranya. Sang ayah yang berada disisi ibu juga meyambut hangat kedatangan anaknya. 

Aku yang mematung hanya bisa membatin, “Subhanaallah, maha suci Allah. Sungguh kasih ibu sepanjang jalan. Betapapun sakit perasaannya dengan kesalahan yang kita perbuat, tetap cinta tak pernah habis untuk anaknya. Pelukannya selalu terbuka saat kita datang kesisinya. Begitu juga sang ayah. Dengan keperkasaannya. Ia menyambut anaknya dengan senyum kebahagian”.

Beberapa lama mereka hanyut dalam kasih anak dan orang tua yang lama terpisah, seolah tak peduli aku yang ada disitu. Akhirnya mereka membalik menghadapku. Ibunya menyambut tangan yang kuulur untuk bersalaman, namun masih menjaga jarak denganku.

Setelah bercerita panjang, niat kami menemuinya. Sang ibu yang kembali berucap sembari air mengusap air mata yang masih menitik,”Nak, ayah dan mama merestui kamu menjadi istri Reza, tapi mama mohon jangan buat Reza lagi berpaling dari kami orang tuanya.” Akhirnya yang diamini sang ayah.

Surga anak laki-laki tetap dibawah telapak kaki ibunya mesti telah menikah, jika aku memalingkan laki-laki ini dari ibunya. Berarti aku manusia paling jahat. Ibu tak kan mungkin kulakukan itu pada anakmu, sedang aku berumah tangga ini untuk mencari keridhaan Allah, bukan mencari kemurkaan-Nya.

Aku hanya memandang ibunya dalam sekali memalingkan wajah kearah calon suamiku dan ayahnya, hingga mulut ini mengeluarkan ucapan”ia tetap anak ibu dan bapak, sementara aku insyaallah istrinya. Kita masing-masing punya posisi dihatinya, tak mungkin saya merebut posisi ibu dan bapak dihatinya, terlebih baktinya kepada ibu lebih tinggi dari pada saya. Seumur hidupnya, surga akan berada dibawah telapak kaki ibu, dan saya insyaallah hanya teman hidupnya berbagi suka duka, teman hidupnya beribadah kepada Allah. Tentu tak mungkin saya memalingkan ia dari orang yang dimana ridhanya adalah ridha Allah”.

Drama kesedihan itu pun usai, keluarganya merestuiku menjadi pendampingnya. Kalimat yang keluar dari nuraniku menyeruak“Bismillah, semoga aku menjadi teman yang meringankan laki-laki ini saat menghadapmu bukan beban berat yang harus dipikulnya”

Jalan terjal rasanya sudah terlewati semua, langkah menuju pelaminan kian mantap. Hari bahagia pun tengah dinanti-nati tibanya. Namun, nyatanya pernikahan itu tak hanya menyatukan dua keluarga, namun juga harus menyatukan opini orang diluar sana bahwa pernikahan ini memang bukan ada apanya?

Yachh…. Walaupun kata-kata motivasi selalu menyerukan” tak perlu fikirkan kata orang-orang tentang hubungan kita, karena kitalah yang lebih tahu tentang hubungan ini”. Tapi, nyatanya tak semudah itu untuk membuang badan dari kicauan orang diluar sana…

Rasanya perlu menjelaskan pada mereka, pernikahan ini terjadi karena takdir Allah yang menyatukan dua hati mengikat mereka dengan kata jodoh di Lauhul Mahfudz, bukan settingan belaka untuk sandiwara kehidupan.

Pernah berkeluarga dan kini menjadi ayah, tentunya diusia yang begitu matang, wajar kini ia disebut pria mapan. Memiliki segala kemewahan dari hasil kerja kerasnya membuat orang berfikir bahwa aku yang baru meniti karir dipermulaan dewasaku hanya mengejar hartanya dengan menikahinya.

Jelas, kata-kata yang tak tau asal mulanya itu menghantamku. Bak ombak deras rasanya mampu melemparku kepesisir keraguanku melanjutkan cinta ini. Sempatku menarik ulur semua rencana ini, ku berniat membatalkan semuanya. Aku tak ingin pencitraan yang terwujud dari pernikahan ini hanya mengejar hartanya.

Namun, ia memapahku dari ombak hujatan yang menerpaku. Mencoba menegakkan niat mulaku untuk membangun mahligai cinta dengannya. Ia percaya padaku tak mengejar hartanya seperti kabar burung yang berhembus, ia begitu yakin kutulus mencintainya.

Demi Allah, memang benar yang ia katakan, andai hati bisa langsung berbicara, inginku juga meyakini ia kembali dan menyakini semua orang” dari lubuk hati terdalam kumencintainya karena Allah, bukan karena hartanya”. Menginginkan sosok yang mapan seperti dirinya memang benar. Aku yakin wanita manapun menginginkan sosok laki-laki mapan untuk membina pernikahan. Sekali lagi menginginkan kemapanan bukan menguasai hartanya.

Menginginkan sosok suami yang mampu memenuhi kebutuhan berumah tangga adalah hal yang wajar, karena tak mungkin kelak dengan cinta mampu membeli kebutuhan rumah tangga, namun sekali lagi ini sangat jauh berbeda dengan niat menggerogoti harta suami hingga habis, untuk memenuhi nafsu semata.

Dan tak pernah terbersit, dihatiku untuk rakus pada harta yang dimilikinya.

Lambat laun suara bising itu mulai mengecil. Saat kuyakini semua orang sudah mampu menerima cinta kami. menerima cinta ini memang hadir dari hati kami untuk mengharap keridhaan Allah, bukan setingan kami untuk menguntungkan sebelah pihak saja, menguntungkan aku, atau menguntungkan dirinya.

Dan…

Alhamdulillah…

Hari itupun tiba, Segala perjuangan cinta berakhir pada tumpuan kebahagian. Sandangan calon suami atau calon istri telah berakhir. Kini dunia telah merestui, semua orang telah tahu aku istri Reza, dan ia suami Nurul. Bahkan Tuhan menganugerahi kami kado terindah berupa malaikat kecil ini ditengah keluarga baruku dengannya.

Tak pernah terbersit kelam wajah masa lalu pernikahan suamiku padanya, Bahkan yang tampak kebahagian tiada akhir, kehadirannya punya warna tersendiri untuk pernikahan kami. 

“Ya…Allah, Alhamdulillah atas anugrah yang engkau limpahkan. Ridhailah keluarga kecil kami ini menjadi keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah. Tuntun Aku menjadi istri soleha, ibu yang bijaksana untuk putri kecil ini dan anak-anak kami kelak”, batinku dengan air mata yang menitik.

Ini kali pertama ia mengimamiku. Menyadarkan aku, bahwa kini aku telah berada digaris kehidupanku yang baru, dulu aku anak dari ayah-ibuku. Kini selain anak orangtuaku, aku telah menjadi istri dan ibu untuk putri kecil ini.

Langkahku meninggalkan rumah orang tua, menuju rumahnya sempat membuatku menangis, namun rasanya itu air mata bahagia, air mata terimakasihku pada ayah ibu yang telah membesarkanku hingga mengantarkanku ke pintu rumah suamiku. Dengan berada disisi suami kini, bukan berarti baktiku pada mereka telah usai. Karena baktiku pada suami, akan mengalirkan pahala untuk orang tuaku. Jelas, bahwa ini kebahagiaan, membayar jerih payah mereka membesarkanku, meski mereka tak pernah meminta ganti rugi dari setiap darah mereka yang mengalir ditubuhku.

“Ya…Allah, surgaku kini telah berada dibawah kaki suami. Ya… Allah semoga baktiku pada suami mengalirkan pahala untuk ayah ibuku, karena merekalah yang mengajarkanku dari dulu untuk menjadi istri sholeha untuk suamiku”.

Kebahagiaan terus mengalir setiap saat. Benar ternyata, pernikahan itu sunatullah, akan ada banyak berkah dan kebahagiaan didalamnya. Karena hubungan kekasih ini telah halal di mata-Nya. 

Bau-bau pengantin baru masih terasa harum dalam rumah tangga kami. ada teman baru disisi yang menemani setiap saat, jelas ini kebahagian yang luar biasa, yang rasanya lebih dari segala kado yang pernah kuterima.

Terlebih….

“Bunda, Niki manggel bunda mama ya”, ucapan yang keluar dari mulut mungil peri kecil suamiku.

Subhanaallah, rasanya kebahagiaan yang Allah limpahkan terus mengalir bak air terjun dari pengunungan membasahi ku yang berdiri dibawahnya. Malaikat kecil ini memanggilku mama, dimana aku yang tak pernah bermimpi akan dipanggil oleh sebutan yang diimpikan setiap wanita seusai pernikahan.

Kebahagiaan-kebahagian terus mengalir dalam rumah tangga kami. kata syukur rasanya tak akan pernah terhenti dari bibirku, terimakasih pada rabbi atas karunia-Nya, yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Allah memberiku nikmat yang luar biasa.

Akhirnya, dipintu gerbang rumah tangga yang baru kutapaki ku menyimpulkan. Kesempurnaan yang dinantikan kaum hawa bukan pada laki-laki yang sempurna. Namun kesempurnaan itu akan kita rasakan saat kekurangan kita mampu tertutupi oleh kelebihannya. Saat kelebihan kita mampu menutupi kekurangannya. Itulah kesempurnaan cinta yang hakiki.

Masa lalu suami atau pun kita hanya secuil bara api yang bisa kita padamkan dengan saling percayanya kita terhadap pasangan. Setelah padam kita berjalan diatasnya tanpa perlu takut terbakar lagi. Karena kepercayaan dan kesetiaan akan melindungi cinta kita untuk membangun sedikit demi sedikit istana cinta yang melabuhkan kita sebagai permaisuri dan ia rajanya.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : CERITA PENDEK CINTA | CINTAKU BERAKHIR PADAMU YANG SINGLE PARENT

0 komentar: