kumpulan cerpen : cerita pendek terbaru, kumpulan puisi, novel, serta hal-hal menarik yang terjadi disekitar kita.....

Cerita Pendek | Darah Pengikat Ikrar



Dia tidak seperti kader pergerakan pada umunya, matanya melotot tajam ke arah depan,sedikitpun dia tidak pernah menitipkan senyum dalam bibirnya mungkin saja dia telah lupa bagaimana seharusnya tersenyum, badannya yang tegap seperti tentara, bertubuh besar dengan lekukan horizontal di daerah dada dan perutnya menjadi bukti konkrit bahwa dia menjaga tubuhnya agar tetap sehat. Dia memakai kaos T-Shirt dengan bertuliskan “since 11 April 1970” terlihat pantas saat dia yang mengenakan kaos hitam itu, karena bentuk dada dan perutnya yang six pack. Entah apa arti dari 11 April 1970 yang jelas itu bukan hari kelahirannya, lantas jika bukan kelahirannya lalu kelahiran siapa?. Atau hari kemerdekaan Indonesia paska terbentuknya revolusi. Entahlah, yang jelas itu juga bukan. Lalu kutemukan makna dibalik 11 April 1970 saat dia berbalik membelakangi kami “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” dengan disertai lambang diatasnya. Belum sempat kami tanyakan siapa namanya, dia terlebih dahulu membuka wacana, menyentak kami dengan nadanya yang langsung meninggi. 

“apa yang kalian cari dari sekolah pergerakan?,  dan apa tujuan kalian?”

 semua terdiam, kami titipkan bisu dalam bisu tapi bisu itu langsung tertiup oleh hentakannya yang kedua. 

“ayo, dijawab yang tegas, kamu Doyok, apa kamu siap menjadi agen gerakan?”

Doyok tertunduk, tidak mengerti apa yang harus dia katakan, lalu dia rajut kata demi kata dengan segala bentuk pemikirannya yang abstrak (memutar dalam kata  yang sama yaitu “siap”) dengan pembumbuan kata yang sedikit sukar dimengerti, mungkin itu efek dari hentakan dan muka serius yang dilempar pemateri. Doyok yang mendapat giliran lebih awal, setelah sekian panjang berargumen, lalu Doyok berhenti dan mengatakan “pas, yang lain dulu mas”. Saat itu ada Iqbal, Firzam, Aku dan Rosyid yang jauh-jauh berangkat dari Merjosari – Malang ke ranah rantau nan jauh sekedar mendalami arti dan perspektiv pergerakan yang tertuang di kata awal dalam organisasi yang kita geluti. Pakis adalah desa yang menyimpan sejuta warna dengan limpahan air yang jernih menyirami setiap sudut desanya, kolam ikan dngan berjuta ragam bentuk ikan merupakan potret kecil akan kesuburan, dan kelimpahan airnya, mungkin itulah sebab mengapa desa ini menjadi tempat diadakanya “Sekolah Pergerakan” yang sedang kita ikuti selama dua hari. 

“masih banyak hal yang belum saya ketahui dari sekolah pergekan ini pak, metode-metode pergerakan yang semenjak awal kita pelajari belum seutuhnya kita pahami, belum lagi strategi taktik yang sekarang akan kita pelajari dimana tertuang didalamnya manajemen konflik, mnagemen isue atau terahir adalah isue buiding, semuanya masih belum terinternalisasi dalam otak dan pikiran kita pak, justru itu kita berada disini. Namun jika pertanyaannya adalah siap atau tidak maka jawabannya jelas siap pak” 

Iqbal mencoba myakinkan pemateri dengan cara retorikanya yang rapi, mengalirkan kata, menyiram keyakinan pemateri bahwa dia telah siap seutuhnya untuk menjadi agen gerakan, pemateri yang merasa gersang keyakinan akan kesanggupan kami pada ahirnya luluh dalam kata yang Iqbal tusuk dengan gaya bahasanya yang lembut dan sopan.  

“oke selanjutnya” ungkap pemateri.
Hampir semuanya menjawab jawaban yang sama seperti Iqbal tapi melalui retorika dan bahasa yang berbeda.

“pergerakan tidak butuh yang namanya teori, karena teori tidak begitu penting bagi dia yang berfikir kritis, teori itu sekedar berada dalam lingkup kognetiv tapi pertanyyannya adalah benarkah ilmu itu kognetiv atau sebaliknya ilmu itu adalah aplikativ?. Jelas aplikasi jawabannya. Mengenai berbagai teori yang  kalian hawatirkan selayaknya kalian buang jauh mulai sekarang karena teori pergerakan tidak semuanya baku dalam satu konsep tapi selalu bertransformasi sesuai dengan kopleksivitas masalah yang ada dan nilai tawar problem solving yang ada” 

Pemateri yang bertubuh besar itu kembali mengangkat aungannya, setelah itu dia mengambil silet yang berada dalam genggamannya, memainkannya tanpa sepengetahuan kita hingga ahirnya dia berkata dalam hening yang kita cipta.

“saya tidak peduli dengan apa yang kalian paparkan yang saya butuhkan hanya ikrar suci dari kalian”
silet yang berada di genggamannya kembali dia mainkan, 

“lihat apa ini”, 
sembari menjepit diantara ibu jari dan genggamannya dan meletakkan tepat diadepan muka kita.

“silet ini adalah cara dimana darah kita akan bersatu, ikrar kita bukan hanya sekedar bahasa tanpa makna atau sekedar dusta saat beretorika, inilah bukti autentik yang nanti akan kalian tanda-tangani lewat darah kalian” 

segera dia mengambil kertas yang tertuang nama kami lalu mencoba memenggal ibu jarinya sendiri dengan tangan sebelah kiri, sedikit sulit dia rasakan, dia menatap kami, sedang kami dalam keadaan kosong melompong tidak mengerti apa maksud dan tujuannya, dia tambah daya tekan silet pada ibu jari sebelah kanan. Lalu...   lalu tumpahlah darah dari ibu jari sebelah kanan, darah itu mewarnai telapak tangannya, bukan tangis yang kami lihat tapi dia tersenyum sembari mengangkat tangn yang menjadi sumber darah bercucuran. 

“bismillah” lanjutnya      

Aku tidak mengerti apa yang dia maksud dari darah itu, darahnya tetap dia alirkan tanpa harus mengusapkannya pada tisu, dia terus pandangi darahnya, kamipun juga memandang, pandangan kami dan pandangannya berada dalm satu titik yang sama.yaitu titik dimana darah yang selayaknya megatur pencernaan dia paksa untuk keluar. Darah itu membuat kami hampir setengah pingsan. 

“Buktikanlah, jika kalian adalah agen gerakan” lanjutnya sembari melempar silet itu didepan kami.
Kembali Doyok yang mendapat giliran pertama. itu karena tempat duduknya yang sangat dekat dengan pemateri, tidak seperti biasa Doyok secara revleksiv mengangkat silet itu, dengan wajah yang sedikit menerangah keatas, dia ucap sebuah takbir kecil tapi mantap dalam hati.  “Allahu Akbar” gumamnya. Rasa takut yang sewajarnya menghampiri telah terpenggal oleh ikrar yang dia buat, serta niat kuat menjadi agen gerakan yang melekat dalam setiap urat, meniup motivasi bulat yang tidak akan pernah tergadai, walau badannya harus karat atau dia mati sekarat, dijerat tajam silet dalm ikrar yang mengikat. Aku tidak tega melihat mata Doyok yang buka-tutp menahan perih. Aku mencoba melihat Rosyid disampingku namun Rosyid memasang muka dingin, tanpa ekspresi. Entah, apa yang dia rasakan. Firzam yang berada disebelah kanan Rosyid juga kupandangi ekspresinya, dan benar Firzam terpana dengan luka itu, luka yang digores oleh tangan Doyok sendiri, muka Firzam berubah atmosfer tidak seperti biasa, dia mengkerucutkan dahinya, sedikit menutup matanya, menyambungkan kedua alisnya. Kayaknya, Firzam juga merasakan hal yang sama denganku yaitu katkutan yang memuncak setelah tangan Doyok diiris oleh tangannya sendiri dengan silet yang sedikit karat.  Selanjutnya giliran Iqbal, Rosyid, Firzam dan terahir adalah aku.  Saat mendapat giliran mengiris ibu jariku sendiri, tanganku yang sebelah terasa terasa berat melakukannya hingga hanya tercipta goresan kecil yang tidak melukai, namun segara kuambil darah Rosyid yang masih caiir dan kental, merekayasanya sehingga tampak darah itu adlah darahku. Segera kami berenam membubuhkan tanda tangan kami dengan darah yang kami cipta dalam qosam dan ikrar suci sebagai agen gerakan seutuhnya. Setelah pembumbuhan tanda tangan berdarah itu lalu dia kenalkan namanya. 

“Muhammad Idhon Ahlal Fanani, panggil saja aku Idhon” ungkapnya
Lalu saat itu kita mulai mempelajari tentang Strategi Taktik yang kita singkat dengan STRATAK, dan memulai diskusi dan wacana terkait sub-tema yang sudah direncanakan.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Cerita Pendek | Darah Pengikat Ikrar