kumpulan cerpen : cerita pendek terbaru, kumpulan puisi, novel, serta hal-hal menarik yang terjadi disekitar kita.....

cerita pendek : SEPENGGAL KISAH BU NIA



“Bu Nia, Grista nangis, Bu,” kata Abel memberitahuku.

Pasti berantem lagi. Aku segera mengecilkan kompor. Bergegas menuju ruang depan. Padahal sebentar lagi air mendidih. Tapi urusan anak-anak lebih penting dari sekadar memasak mie instan. Apalagi kalau ada yang menangis seperti saat ini. Dan benar saja, di pojok ruangan Grista tersedu. Ia memeluk lutut. Beberapa anak yang lain coba menenangkan. Sebagian lainnya hanya melihat.

Aku menghampiri gadis kecil berambut ikal tersebut, lalu kupeluk erat tubuhnya.

“Grista kenapa nangis?” tanyaku.

Bukannya diam karena kupeluk, tangis Grista justru kian menjadi. Kubelai rambutnya yang terurai sebahu.

“Lho kok malah kenceng? Ayo Sayang, sini sama Bu Nia.” Sambil memeluk tubuhnya, aku bawa gadis kecil berusia delapan tahun tersebut masuk ke kamar. Biar lebih tenang dan leluasa bercerita.

“Ayo yang lain belajar, kerjakan soal latihan. Awas kalau ada yang berantem lagi.” Aku memberi perintah pada anak-anak yang lain.

Grista kini duduk di atas tempat tidur. Kuambilkan segelas air putih agar ia tenang. Manjur. Tak lama kemudian tangisnya berhenti.

“Sayang, mau cerita sama Bu Nia nggak? Tadi nangis kenapa?” Kubelai rambutnya lagi.

“T-t-tadi Juan rebut kertas Grista,” jawab Grista sedikit terbata. Di tangan kanannya tergenggam sesuatu. Mungkin itu kertas yang ia maksudkan. Sudut mata gadis itu kembali berembun. Segera kucoba tenangkan lagi. Memeluknya.

“Pasti kertas itu sangat berharga buat Grista. Boleh Bu Nia lihat kertasnya, Sayang?” bujukku.

Grista menggeleng. Tangisnya siap pecah lagi.

“Ya udah nggak papa. Nanti Ibu tegur Juan biar nggak nakal lagi,” kataku sambil mencium kepalanya. Aku melirik jam di dinding. “Sebentar lagi Grista dijemput. Bu Nia ambilin tas Grista dulu yaah ke depan?”

Grista cuma mengangguk.

Begitulah. Ini hari yang sangat berat. Kepalaku serasa mau pecah. Padahal raja siang saja belum sampai di puncak. Bagaimana tidak, dua belas anak harus aku hadapi sendiri. Memang ini hari Senin, hari tersibuk untukku. Jadwal mengajar penuh dari pagi sampai malam. Namun sepertinya baru kali ini aku kepayahan mengurus malaikat-malaikat kecil tersebut. Bahkan sekadar mencuri waktu beberapa menit untuk sarapan saja nyaris tak bisa.

Diawali dengan kedatangan tiga orang murid pukul delapan tadi. Begitu mereka selesai belajar selama satu jam, datang dua orang lainnya. Kini ketika matahari hampir sampai ke puncak, tersisa tujuh anak yang harus aku tangani sendiri. Benar-benar sangat menguras tenaga dan emosi. Apalagi jika ada hal-hal di luar kendali seperti tadi. Arrgggh! Rasanya ingin lari ke hutan lalu teriak sekencang mungkin.

“Juan, sini!” panggilku sambil merapikan alat-alat tulis milik Grista.

Bocah kelas lima SD itu pun segera mendatangiku.

“Ada apa, Bu?” tanyanya berlagak tak tahu-menahu.

“Kamu apakan Grista sampai dia nangis gitu?” tanyaku bailk sambil melotot.

“Aku nggak ngapa-ngapain dia kok, Bu. Dianya aja yang cengeng,” jawabnya membela diri.

“Boong, Bu. Dia rebut kertas Grista. Akhirnya robek dan Grista nangis,” celetuk Abel.

“Nah bener kan? Berapa kali Ibu ingetin kamu, Juan, jangan suka jahilin teman-teman yang lain. Kamu kan sudah kelas lima. Salah satu yang paling gede di sini. Harusnya bisa jadi contoh yang baik untuk adik-adik yang lain, yang lebih muda dari kamu,” jelasku dengan lembut.

“Tapi, Bu, aku kan cuma mau lihat apa yang ditulis Grista…”

“Nggak ada tapi, Juan. Kalau Grista nggak mau kasih lihat ya nggak boleh maksa,” aku menoleh ke arah anak-anak yang lain. “Yang lain juga dengerin Bu Nia. Kita nggak boleh memaksakan kemauan kita kepada orang lain. Kalau teman kita ada yang nggak mau kasih pinjam sesuatu, bukan berarti mereka pelit. Mungkin mereka punya alasan sendiri kenapa nggak mau meminjamkan barang pada kita. Dan kita nggak boleh memaksanya untuk meminjamkan barangnya. Mengerti?”

“Mengerti, Bu,” jawab murid-muridku kompak.

“Mengerti Juan?” Aku melirik ke arahnya. Ia hanya menganggukkan kepala beberapa kali.

“Sekarang ayo minta maaf dulu sama Grista,” tambahku lagi.

Beberapa detik kemudian, Juan beranjak menuju kamar. Aku mengikutinya dari belakang. Ia mengulurkan tangan, meminta maaf. Grista menyambutnya dengan senyuman tulus khas anak-anak. Aku menarik napas lega. Hhmm, anak-anak selalu begitu. Mudah sekali memaafkan. Tak seperti orang dewasa yang meskipun bibir berkata maaf, namun hati menyimpan dendam.

Tepat ketika aku hendak kembali ke ruang depan, terdengar suara klakson mobil di luar. Pasti mobil jemputan Grista. Sudah satu jam ia belajar. Dan sekarang waktunya pulang. Aku menuju ke teras untuk sekadar memastikan. Ternyata benar dugaanku. Ayah Grista turun dari mobil, tersenyum, lalu menghampiriku.

“Assalammu’alaikum. Gristanya udah selesai belajar?” tanyanya ramah.

Baru saja hendak kujawab ketika terdengar suara dari arah belakang.

“Papaaaa…” Grista berlari memeluk ayahnya.

“Lho, Grista abis nangis ya?” tanya lelaki bertubuh tegap itu. Ia mengusap rambut putrinya yang agak berantakan.

Grista menjawab pertanyaan tersebut dengan bergelayut manja di pelukan sang ayah.

“Hehehe, maaf, Pak. Tadi sedikit… ya namanya anak-anak,” jawabku tak enak hati.

“Hmm, iya, iya. Tapi udah baikan kan, Sayang?” Tanya sang ayah pada putrinya.

“Udah kok,” Grista tersenyum, memperlihatkan giginya yang putih rapi.

“Kalau gitu permisi, Bu. Terima kasih,” kata ayah Grista sambil tersenyum. “Ayo Grista salim dulu sama Bu Nia.”

Grista melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Ia menghampiriku, mencium tangan, lalu pipi kananku. Tentu saja wajahku bersemu merah. Malu dengan ayah Grista.

“Belajar yang rajin ya, Grista,” pesanku sambil menyerahkan tasnya.

“Ini untuk Bu Nia.” Gadis kecil itu menyodorkan kertas yang sudah lusuh dan sobek.

“Wah, ini apa, Sayang?” aku penasaran. Juga kaget bahwa kertas yang tadi diperebutkan dengan Juan ternyata malah ia berikan untukku. Sedang ayah Grista hanya tersenyum melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Tak lama berselang mereka berdua sudah berlalu.

Aku membuka potongan kertas yang lusuh tersebut. Untunglah cuma bagian bawahnya yang sedikit robek. Tulisannya sendiri masih utuh dan dapat kubaca dengan jelas.

Puisi Untuk Bu Nia

Bu Nia yang cantik
Bu Nia yang baik
Terima kasih, sudah mengajari kami
Mengajari berhitung
Mengajari berbagi
Dan pelajaran lainnya

Bu Nia yang cantik
Bu Nia yang baik
Kau mengajari kami
Setiap hari, tak kenal letih

Bu Nia yang cantik
Bu Nia yang baik
Terima kasih

Kulipat kembali kertas lusuh tersebut. Lalu kudekap di dada. Tak terasa bulir-bulir bening basahi pipi. Terima kasih Grista. Terima kasih muridku semua. Kalian lah yang mengajariku banyak hal. Terima kasih sekali lagi.

Dan aku kembali mengajar dengan energi berlipat. Penuh semangat.

Jkt, bulan kelima hari kedua puluh enam
Satu jam sebelum kumandang adzan subuh

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : cerita pendek : SEPENGGAL KISAH BU NIA

0 komentar: