kumpulan cerpen : cerita pendek terbaru, kumpulan puisi, novel, serta hal-hal menarik yang terjadi disekitar kita.....

cerita pendek : SUNDA-JAWA


Hari ini mentari terasa enggan menatap dunia entah malu atau memang karna aku terlalu optimis menunggu, sisa-sisa pagi sudah beranjak hilang, paruh-paruh burung mematuk memburu padi menguning dan seketika gerombolan burung itu berlalu berhamburan bersama bunyi gemerinting kaleng-kaleng yang memang di rancang untuk menakuti hewan kecil bersayap itu, pelakunya ada di gubuk sana bapak tani dengan tudung kepalanya namun dia yang berjasa untuk ku setidaknya memperbolehkan menginap dihotel istimewa gubuk tengah sawah milik-nya, burung itu terbang aku hanya diam memandangnya, bersama gemericik air yang mengalir dipenggalan sawah sesekali merasakan sepoy-nya angin, cuaca sejuk bersama mentari dengan sayup sinarnya, merasakan sedikit saja nyamannya dunia, aku dan primbon jawa tua milik Abah kumpulan mitos-mitos yang tak sengaja ku bawa bersama sekumpulan buku puisi-puisi, sebenarnya buku primbon ini, buku yang mengesalkan untuk ku, buku yang memperbudak orang tua, keluarga bahkan saudara-saudara ku, buku yang sepertinya membodohkan mereka dengan akal yang tidak bisa di tertibkan oleh nalar, karna itu disini aku menanti sedikit saja nyamannya dunia dari polemik kebiasaan tanah pertiwi ini dengan segudang mitos-mitosnya.
 

Aku orang dengan baju kumal, sisa-sisa baju kotor yang tidak terganti sudah tiga hari lamanya, bukan karna miskin atau gelandangan jika lihat sebagian dari pesawahan yang ku tatap sekarang, semua itu milik dari Abah ku tersayang, Abah yang ku cinta yang tiga hari lalu berhasil mengusir anaknya dari pembaringan hanya karna sepucuk surat dari orang yang aku cinta.

Perkenalkan kawan aku Arjuna, anak saudagar yang terusir.

“Sayang.”

Kata itu yang kunanti kata dari lisan seorang gadis cantik denga kain merah yang diselendangkan dikepalanya, gadis yang sedang aku perjuangkan keberadaannya, dan sekaligus gadis yang berhasil meluluhkan hati yang dianggap hati batu oleh sebagian dari keluarga ku, namun hubungan kami tidak sebaik kemarin hampir putus harapanku perjuangkannya.

Gadis itu melangkah bersama air mata di pipinya sepertinya air mata kehawatiran, tangan kanannya membawakan baju dan di kirinya sebuah rantang makanan.

“sayang kamu harus pulang.” Ucap nya sambil memeluk ku.

Air mata nampak masih mengalir membasahi pipi halusnya memaksaku untuk membasuh dengan jemari yang dikotori goresan tinta dari puisi-puisi yang kubuat, sebatas tenangkan hati, disodorkanya sepucuk surat tulisan tangan Ambu aku faham betul tulisan Ambu tulisan sambung-nya aku faham betul setiap lekuknya bahwa ini tulisan Ambu.

Berikut isi suratnya.

”Asalamualikum.

Anak ku sayang, pulang lah nak.

Ambu hawatirkan mu, Abah mu memang begitu sifatnya, kamu tidak kasihan dengan Ambu mu ini, cukuplah Ambu terbebani dengan kursi roda jangan kamu bebani Ambu dengan pergi nya kamu, siapa lagi yang bisa menjaga Ambu jika kamu pergi, nanti Ambu bicara baik-baik sama Abah, kamu pulang ya nak, Ambu kangen.

Ambu titipkan baju dan makanan kepada Sri, Ambu takut kamu belum makan, Ambu takut kamu kedinginan, Ambu khawatir sama kamu nak, kamu pulang nak, Ambu rindu.”

Surat dengan titik-titik sisa air mengering melusuhkan kertas putih tak berdosa ini, surat bersama Airmata kehawatiran Ambu, surat dari Ambu ku tersayang, titik lemah ku dari segala kekerasan hati ucapan Ambu yang meluluhkan.

Bersama itu pula tak terasa air mata ku pun terjun bersama usainya surat ku baca, kepala ini termenung bersama kemelut hati yang belum juga usai, kemuelut yang tumbuh bersama mitos-mitos yang aku benci, gemeretak hati rasanya ingin merobek buku mitos tua ini buku yang menyebarkan virus kebodohan, namun sadar ku, bukan buku ini yang harus dipersalahkan ini hanya sebatas benda mati bahan bacaan, tapi otak-otak mereka yang harus diberi pencerahan, otak kotor yang terkontaminasi ucapan manusia-manusia tempo dulu.

Kesal ku dalam hati berkobar terasa panas meski ku tau mentari tidak muncul hari ini, namun seketika mata ini menatap gadis disamping ku, berlimpah sayang untuk nya, genggaman tangannya menenangkan, raganya mengajak ku berdiri dan menjauh dari tempat ini.

“jangan ajak aku pulang.” Pinta ku.

“tidak, kamu hanya perlu istirahat, aku ajak kamu ke rumah Arman, nanti aku yang bilang ke adek mu agar di teruskan ke Ambu kalo kamu ada di rumah Arman, kasihan Ambu mu hawatir.” Jawabnya.

Kaki ini berlalu menjauh dari kicau burung dan kuningnya padi mengarah menjauh menuju perkampungan, rumah salah seorang sahabat ku Arman.

”asalamualikum.” Ucap Sri sambil mengetuk pintu.

“waalaikumsalam” ucap seorang laki-laki didalam rumah itu.

Arman sahabat ku yang keluar membukakan pintu, wajahnya Nampak terkejut melihat ku, kedua orang tuanya mengeleng-gelengkan kepala setelah melihat ku, yah sudah ku duga hilangnya aku dari peredaran mengemparkan mereka orang yang dekat dengan ku termasuk Arman sahabat ku, entah Abah atau Ambu yang mencari ku, atau adik ku yang gentayangan mencari kesana kemari, biasanya dia adik laki-laki yang paling banyak membantu Ambu untuk mencari ku.

“kemana kamu, keluargamu mencari mu.” Tanyanya sambil menatap ku mungkin heran dengan badan ku yang kumal.

“nanti aku ceritakan.”jawab ku singkat.

“yasudah mandi dulu sana badan mu sudah bau seperti kol busuk.” Perintah Arman dengan Senyum nya.

Memang sahabat ku yang satu ini, sahabat kecil ku, sahabat yang tau kenapa aku, dan sahabat yang paling dekat dengan keluarga ku, sahabat yang faham duduk masalah kenapa aku menjadi seperti ini, fikiranya sudah pasti mampu menerka permasalahan ku permasalahan yang membuat ku pergi tiga hari, semua tidak lain dan tidak bukan pasti karna hal itu.

Sri menyodorkan baju yang ia bawa untuk ku baju yang ditipkan Ambu kepadanya, isyarat tanpa kata dari-nya agar lekas mandi dan mangganti pakaian kumal yang ku kenakan saat ini, kaki ku gontai mengarah ke kamar mandi rasanya kulit ini gersang mungkin karna tidak tersiram air atau tiga hari tidak tersentuh sabun mandi.

Beberapa gayung air seperti menyegarkan kepala ini, kepala yang panas seperti panasnya gurun syahara gersang dan panas mengepul karna bahan bakar masalah yang tidak ku kehendaki, sesaat badan ini segar sudah, baju kumal sudah harus dipensiunkan.
Sejenak aku menghampiri Sri yang sudah menunggu diruang tamu.

“kamu pulang saja.” Ucap ku dengan nada tidak biasa tidak seperti hari-hari lalu ucapan yang selalu berbalut sayang.

Sri hanya mengangguk mendengar ucapan ku, kakinya keluar rumah, selendang merah yang tersurai menutup kepalanya yang menuduk dengan mata sayu, Nampak sesekali ujung selendangnya menjadi pengering air mata dipipi manis nya, kini dia pergi persama duka yang kita pikul bebannya bersama, beban cinta polemik tak berhujung, sengketa cinta ditanah pertiwi.

Bukan aku kejam, bukan pula tega suruhnya pergi, hati ini terluluh-luluh tak tega melihat langkahnya menjauh dengan air mata terjatuh, namun apalah yang harus dilakukan ini demi dirinya pula, demi kebaikan nya, dan aku harus sadar ini demi kebaikan orang yang aku cinta.

“broo, kamu istirahat sana, di kamar ku.” Ucap Arman.

“iya, kawan” jawab ku, sedikit menganggut melanjutkan langkah menuju kamar tidur Arman kamar yang sudah tidak asing bagi ku.

Angan itu muncul kembali.

Dikamari ini kamar lama yang masih terjaga dimana aku dan Arman kecil bermain dengan canda nya, fikiran lepas tanpa beban, atap-atap lama masih seperti itu dari dulu hingga kini diujung-ujungnya sarang laba-laba terbentang halus, dulu dimana fikiran kanak-kanak yang terus berusaha berkembang membentang selebar bulu-bulu merak hingga kedewasaan mengikis masa lalu kami masa lalu penuh canda, masih ada diujung sana foto dua orang anak kecil anak ingusan yang baru kenal dunia itulah kami berdua memegang seekor ayam jantan yang harus mati mengenaskan masuk sumur, ayam jantan kesayanganku, menjadi kenangan kami berdua.

Di satu sisi lagi ada foto kelulusan tiga tahun lalu masa-masa putih abu-abu dua remaja Bengal namun menyenangkan, dari situ pula titik kemelut tentang apa yang aku benci sekarang, timbul enam bulan setelah lulus, setelah aku manggut atas keputusan Abah agar aku tidak meneruskan sekolah ke jenjang kuliah.

Aku hanya tidur dengan wajah menatap langit-langit tua itu sekejap saja ingin rasanya memberontak dan mengubah cara fikir mereka yang terkontaminasi pengaruh kolot dengan ucapan yang tidak berlandasan.

Entah kenapa semua kenangan itu kembali kenangan sebuah pertemuan yang berawal manis dan sangat manis, biar ku susur ulang kisah itu dimana aku bisa seperti ini, kususur ulang bagai mana aku pertama kalinya dipertemukan apa itu cinta dan dipertemukan dengan masalah besar.

Akan ku coba ceritakan meskipun disini hanya atap-atap tua yang menyaksikanya.







Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : cerita pendek : SUNDA-JAWA

0 komentar: