“Bu
Nia, Grista nangis, Bu,” kata Abel memberitahuku.
Pasti
berantem lagi. Aku segera mengecilkan kompor. Bergegas menuju ruang depan.
Padahal sebentar lagi air mendidih. Tapi urusan anak-anak lebih penting dari
sekadar memasak mie instan. Apalagi kalau ada yang menangis seperti saat ini.
Dan benar saja, di pojok ruangan Grista tersedu. Ia memeluk lutut. Beberapa
anak yang lain coba menenangkan. Sebagian lainnya hanya melihat.
Aku
menghampiri gadis kecil berambut ikal tersebut, lalu kupeluk erat tubuhnya.
“Grista
kenapa nangis?” tanyaku.
Bukannya
diam karena kupeluk, tangis Grista justru kian menjadi. Kubelai rambutnya yang
terurai sebahu.
“Lho
kok malah kenceng? Ayo Sayang, sini sama Bu Nia.” Sambil memeluk tubuhnya, aku
bawa gadis kecil berusia delapan tahun tersebut masuk ke kamar. Biar lebih
tenang dan leluasa bercerita.
“Ayo
yang lain belajar, kerjakan soal latihan. Awas kalau ada yang berantem lagi.”
Aku memberi perintah pada anak-anak yang lain.
Grista
kini duduk di atas tempat tidur. Kuambilkan segelas air putih agar ia tenang.
Manjur. Tak lama kemudian tangisnya berhenti.
“Sayang,
mau cerita sama Bu Nia nggak? Tadi nangis kenapa?” Kubelai rambutnya lagi.
“T-t-tadi
Juan rebut kertas Grista,” jawab Grista sedikit terbata. Di tangan kanannya
tergenggam sesuatu. Mungkin itu kertas yang ia maksudkan. Sudut mata gadis itu
kembali berembun. Segera kucoba tenangkan lagi. Memeluknya.
“Pasti
kertas itu sangat berharga buat Grista. Boleh Bu Nia lihat kertasnya, Sayang?”
bujukku.
Grista
menggeleng. Tangisnya siap pecah lagi.
“Ya
udah nggak papa. Nanti Ibu tegur Juan biar nggak nakal lagi,” kataku sambil
mencium kepalanya. Aku melirik jam di dinding. “Sebentar lagi Grista dijemput.
Bu Nia ambilin tas Grista dulu yaah ke depan?”
Grista
cuma mengangguk.
Begitulah.
Ini hari yang sangat berat. Kepalaku serasa mau pecah. Padahal raja siang saja
belum sampai di puncak. Bagaimana tidak, dua belas anak harus aku hadapi
sendiri. Memang ini hari Senin, hari tersibuk untukku. Jadwal mengajar penuh
dari pagi sampai malam. Namun sepertinya baru kali ini aku kepayahan mengurus
malaikat-malaikat kecil tersebut. Bahkan sekadar mencuri waktu beberapa menit
untuk sarapan saja nyaris tak bisa.
Diawali
dengan kedatangan tiga orang murid pukul delapan tadi. Begitu mereka selesai
belajar selama satu jam, datang dua orang lainnya. Kini ketika matahari hampir
sampai ke puncak, tersisa tujuh anak yang harus aku tangani sendiri.
Benar-benar sangat menguras tenaga dan emosi. Apalagi jika ada hal-hal di luar
kendali seperti tadi. Arrgggh! Rasanya ingin lari ke hutan lalu teriak
sekencang mungkin.
“Juan,
sini!” panggilku sambil merapikan alat-alat tulis milik Grista.
Bocah
kelas lima SD itu pun segera mendatangiku.
“Ada
apa, Bu?” tanyanya berlagak tak tahu-menahu.
“Kamu
apakan Grista sampai dia nangis gitu?” tanyaku bailk sambil melotot.
“Aku
nggak ngapa-ngapain dia kok, Bu. Dianya aja yang cengeng,” jawabnya membela
diri.
“Boong,
Bu. Dia rebut kertas Grista. Akhirnya robek dan Grista nangis,” celetuk Abel.
“Nah
bener kan? Berapa kali Ibu ingetin kamu, Juan, jangan suka jahilin teman-teman
yang lain. Kamu kan sudah kelas lima. Salah satu yang paling gede di sini.
Harusnya bisa jadi contoh yang baik untuk adik-adik yang lain, yang lebih muda
dari kamu,” jelasku dengan lembut.
“Tapi,
Bu, aku kan cuma mau lihat apa yang ditulis Grista…”
“Nggak
ada tapi, Juan. Kalau Grista nggak mau kasih lihat ya nggak boleh maksa,” aku
menoleh ke arah anak-anak yang lain. “Yang lain juga dengerin Bu Nia. Kita
nggak boleh memaksakan kemauan kita kepada orang lain. Kalau teman kita ada
yang nggak mau kasih pinjam sesuatu, bukan berarti mereka pelit. Mungkin mereka
punya alasan sendiri kenapa nggak mau meminjamkan barang pada kita. Dan kita
nggak boleh memaksanya untuk meminjamkan barangnya. Mengerti?”
“Mengerti,
Bu,” jawab murid-muridku kompak.
“Mengerti
Juan?” Aku melirik ke arahnya. Ia hanya menganggukkan kepala beberapa kali.
“Sekarang
ayo minta maaf dulu sama Grista,” tambahku lagi.
Beberapa
detik kemudian, Juan beranjak menuju kamar. Aku mengikutinya dari belakang. Ia
mengulurkan tangan, meminta maaf. Grista menyambutnya dengan senyuman tulus
khas anak-anak. Aku menarik napas lega. Hhmm, anak-anak selalu begitu. Mudah
sekali memaafkan. Tak seperti orang dewasa yang meskipun bibir berkata maaf,
namun hati menyimpan dendam.
Tepat
ketika aku hendak kembali ke ruang depan, terdengar suara klakson mobil di
luar. Pasti mobil jemputan Grista. Sudah satu jam ia belajar. Dan sekarang
waktunya pulang. Aku menuju ke teras untuk sekadar memastikan. Ternyata benar
dugaanku. Ayah Grista turun dari mobil, tersenyum, lalu menghampiriku.
“Assalammu’alaikum.
Gristanya udah selesai belajar?” tanyanya ramah.
Baru
saja hendak kujawab ketika terdengar suara dari arah belakang.
“Papaaaa…”
Grista berlari memeluk ayahnya.
“Lho,
Grista abis nangis ya?” tanya lelaki bertubuh tegap itu. Ia mengusap rambut
putrinya yang agak berantakan.
Grista
menjawab pertanyaan tersebut dengan bergelayut manja di pelukan sang ayah.
“Hehehe,
maaf, Pak. Tadi sedikit… ya namanya anak-anak,” jawabku tak enak hati.
“Hmm,
iya, iya. Tapi udah baikan kan, Sayang?” Tanya sang ayah pada putrinya.
“Udah
kok,” Grista tersenyum, memperlihatkan giginya yang putih rapi.
“Kalau
gitu permisi, Bu. Terima kasih,” kata ayah Grista sambil tersenyum. “Ayo Grista
salim dulu sama Bu Nia.”
Grista
melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Ia menghampiriku, mencium tangan, lalu
pipi kananku. Tentu saja wajahku bersemu merah. Malu dengan ayah Grista.
“Belajar
yang rajin ya, Grista,” pesanku sambil menyerahkan tasnya.
“Ini
untuk Bu Nia.” Gadis kecil itu menyodorkan kertas yang sudah lusuh dan sobek.
“Wah,
ini apa, Sayang?” aku penasaran. Juga kaget bahwa kertas yang tadi diperebutkan
dengan Juan ternyata malah ia berikan untukku. Sedang ayah Grista hanya
tersenyum melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Tak lama berselang
mereka berdua sudah berlalu.
Aku
membuka potongan kertas yang lusuh tersebut. Untunglah cuma bagian bawahnya
yang sedikit robek. Tulisannya sendiri masih utuh dan dapat kubaca dengan
jelas.
Puisi Untuk Bu
Nia
Bu Nia yang
cantik
Bu Nia yang baik
Terima kasih,
sudah mengajari kami
Mengajari
berhitung
Mengajari
berbagi
Dan pelajaran
lainnya
Bu Nia yang
cantik
Bu Nia yang baik
Kau mengajari
kami
Setiap hari, tak
kenal letih
Bu Nia yang
cantik
Bu Nia yang baik
Terima kasih
Kulipat
kembali kertas lusuh tersebut. Lalu kudekap di dada. Tak terasa bulir-bulir
bening basahi pipi. Terima kasih Grista. Terima kasih muridku semua. Kalian lah
yang mengajariku banyak hal. Terima kasih sekali lagi.
Dan
aku kembali mengajar dengan energi berlipat. Penuh semangat.
Jkt,
bulan kelima hari kedua puluh enam
Satu
jam sebelum kumandang adzan subuh
0 komentar:
Post a Comment