Hari ini mentari terasa enggan menatap
dunia entah malu atau memang karna aku terlalu optimis menunggu, sisa-sisa pagi
sudah beranjak hilang, paruh-paruh burung mematuk memburu padi menguning dan
seketika gerombolan burung itu berlalu berhamburan bersama bunyi gemerinting
kaleng-kaleng yang memang di rancang untuk menakuti hewan kecil bersayap itu,
pelakunya ada di gubuk sana bapak tani dengan tudung kepalanya namun dia yang
berjasa untuk ku setidaknya memperbolehkan menginap dihotel istimewa gubuk
tengah sawah milik-nya, burung itu terbang aku hanya diam memandangnya, bersama
gemericik air yang mengalir dipenggalan sawah sesekali merasakan sepoy-nya
angin, cuaca sejuk bersama mentari dengan sayup sinarnya, merasakan sedikit
saja nyamannya dunia, aku dan primbon jawa tua milik Abah kumpulan mitos-mitos
yang tak sengaja ku bawa bersama sekumpulan buku puisi-puisi, sebenarnya buku
primbon ini, buku yang mengesalkan untuk ku, buku yang memperbudak orang tua,
keluarga bahkan saudara-saudara ku, buku yang sepertinya membodohkan mereka
dengan akal yang tidak bisa di tertibkan oleh nalar, karna itu disini aku
menanti sedikit saja nyamannya dunia dari polemik kebiasaan tanah pertiwi ini
dengan segudang mitos-mitosnya.
cerita pendek : SUNDA-JAWA
di
1:16:00 PM
Aku orang dengan baju kumal, sisa-sisa
baju kotor yang tidak terganti sudah tiga hari lamanya, bukan karna miskin atau
gelandangan jika lihat sebagian dari pesawahan yang ku tatap sekarang, semua
itu milik dari Abah ku tersayang, Abah yang ku cinta yang tiga hari lalu
berhasil mengusir anaknya dari pembaringan hanya karna sepucuk surat dari orang
yang aku cinta.
Perkenalkan kawan aku Arjuna, anak
saudagar yang terusir.
“Sayang.”
Kata itu yang kunanti kata dari lisan
seorang gadis cantik denga kain merah yang diselendangkan dikepalanya, gadis
yang sedang aku perjuangkan keberadaannya, dan sekaligus gadis yang berhasil
meluluhkan hati yang dianggap hati batu oleh sebagian dari keluarga ku, namun
hubungan kami tidak sebaik kemarin hampir putus harapanku perjuangkannya.
Gadis itu melangkah bersama air mata
di pipinya sepertinya air mata kehawatiran, tangan kanannya membawakan baju dan
di kirinya sebuah rantang makanan.
“sayang
kamu harus pulang.” Ucap nya sambil
memeluk ku.
Air mata nampak masih mengalir
membasahi pipi halusnya memaksaku untuk membasuh dengan jemari yang dikotori
goresan tinta dari puisi-puisi yang kubuat, sebatas tenangkan hati,
disodorkanya sepucuk surat tulisan tangan Ambu aku faham betul tulisan Ambu
tulisan sambung-nya aku faham betul setiap lekuknya bahwa ini tulisan Ambu.
Berikut isi suratnya.
”Asalamualikum.
Anak
ku sayang, pulang lah nak.
Ambu
hawatirkan mu, Abah mu memang begitu sifatnya, kamu tidak kasihan dengan Ambu
mu ini, cukuplah Ambu terbebani dengan kursi roda jangan kamu bebani Ambu
dengan pergi nya kamu, siapa lagi yang bisa menjaga Ambu jika kamu pergi, nanti
Ambu bicara baik-baik sama Abah, kamu pulang ya nak, Ambu kangen.
Ambu
titipkan baju dan makanan kepada Sri, Ambu takut kamu belum makan, Ambu takut
kamu kedinginan, Ambu khawatir sama kamu nak, kamu pulang nak, Ambu rindu.”
Surat dengan titik-titik sisa air
mengering melusuhkan kertas putih tak berdosa ini, surat bersama Airmata
kehawatiran Ambu, surat dari Ambu ku tersayang, titik lemah ku dari segala
kekerasan hati ucapan Ambu yang meluluhkan.
Bersama itu pula tak terasa air mata
ku pun terjun bersama usainya surat ku baca, kepala ini termenung bersama
kemelut hati yang belum juga usai, kemuelut yang tumbuh bersama mitos-mitos
yang aku benci, gemeretak hati rasanya ingin merobek buku mitos tua ini buku
yang menyebarkan virus kebodohan, namun sadar ku, bukan buku ini yang harus
dipersalahkan ini hanya sebatas benda mati bahan bacaan, tapi otak-otak mereka
yang harus diberi pencerahan, otak kotor yang terkontaminasi ucapan
manusia-manusia tempo dulu.
Kesal ku dalam hati berkobar terasa
panas meski ku tau mentari tidak muncul hari ini, namun seketika mata ini
menatap gadis disamping ku, berlimpah sayang untuk nya, genggaman tangannya
menenangkan, raganya mengajak ku berdiri dan menjauh dari tempat ini.
“jangan
ajak aku pulang.” Pinta ku.
“tidak,
kamu hanya perlu istirahat, aku ajak kamu ke rumah Arman, nanti aku yang bilang
ke adek mu agar di teruskan ke Ambu kalo kamu ada di rumah Arman, kasihan Ambu
mu hawatir.” Jawabnya.
Kaki ini berlalu menjauh dari kicau
burung dan kuningnya padi mengarah menjauh menuju perkampungan, rumah salah
seorang sahabat ku Arman.
”asalamualikum.”
Ucap Sri sambil mengetuk pintu.
“waalaikumsalam” ucap seorang laki-laki didalam rumah itu.
Arman sahabat ku yang keluar
membukakan pintu, wajahnya Nampak terkejut melihat ku, kedua orang tuanya
mengeleng-gelengkan kepala setelah melihat ku, yah sudah ku duga hilangnya aku
dari peredaran mengemparkan mereka orang yang dekat dengan ku termasuk Arman
sahabat ku, entah Abah atau Ambu yang mencari ku, atau adik ku yang gentayangan
mencari kesana kemari, biasanya dia adik laki-laki yang paling banyak membantu Ambu
untuk mencari ku.
“kemana
kamu, keluargamu mencari mu.”
Tanyanya sambil menatap ku mungkin heran dengan badan ku yang kumal.
“nanti
aku ceritakan.”jawab ku singkat.
“yasudah
mandi dulu sana badan mu sudah bau seperti kol busuk.” Perintah Arman dengan Senyum nya.
Memang sahabat ku yang satu ini,
sahabat kecil ku, sahabat yang tau kenapa aku, dan sahabat yang paling dekat
dengan keluarga ku, sahabat yang faham duduk masalah kenapa aku menjadi seperti
ini, fikiranya sudah pasti mampu menerka permasalahan ku permasalahan yang
membuat ku pergi tiga hari, semua tidak lain dan tidak bukan pasti karna hal
itu.
Sri menyodorkan baju yang ia bawa untuk
ku baju yang ditipkan Ambu kepadanya, isyarat tanpa kata dari-nya agar lekas
mandi dan mangganti pakaian kumal yang ku kenakan saat ini, kaki ku gontai
mengarah ke kamar mandi rasanya kulit ini gersang mungkin karna tidak tersiram
air atau tiga hari tidak tersentuh sabun mandi.
Beberapa gayung air seperti
menyegarkan kepala ini, kepala yang panas seperti panasnya gurun syahara
gersang dan panas mengepul karna bahan bakar masalah yang tidak ku kehendaki,
sesaat badan ini segar sudah, baju kumal sudah harus dipensiunkan.
Sejenak aku menghampiri Sri yang sudah
menunggu diruang tamu.
“kamu
pulang saja.” Ucap ku dengan
nada tidak biasa tidak seperti hari-hari lalu ucapan yang selalu berbalut
sayang.
Sri hanya mengangguk mendengar ucapan
ku, kakinya keluar rumah, selendang merah yang tersurai menutup kepalanya yang
menuduk dengan mata sayu, Nampak sesekali ujung selendangnya menjadi pengering
air mata dipipi manis nya, kini dia pergi persama duka yang kita pikul bebannya
bersama, beban cinta polemik tak berhujung, sengketa cinta ditanah pertiwi.
Bukan aku kejam, bukan pula tega
suruhnya pergi, hati ini terluluh-luluh tak tega melihat langkahnya menjauh
dengan air mata terjatuh, namun apalah yang harus dilakukan ini demi dirinya
pula, demi kebaikan nya, dan aku harus sadar ini demi kebaikan orang yang aku
cinta.
“broo,
kamu istirahat sana, di kamar ku.”
Ucap Arman.
“iya,
kawan” jawab ku, sedikit menganggut
melanjutkan langkah menuju kamar tidur Arman kamar yang sudah tidak asing bagi
ku.
Angan itu muncul kembali.
Dikamari ini kamar lama yang masih
terjaga dimana aku dan Arman kecil bermain dengan canda nya, fikiran lepas
tanpa beban, atap-atap lama masih seperti itu dari dulu hingga kini
diujung-ujungnya sarang laba-laba terbentang halus, dulu dimana fikiran
kanak-kanak yang terus berusaha berkembang membentang selebar bulu-bulu merak
hingga kedewasaan mengikis masa lalu kami masa lalu penuh canda, masih ada
diujung sana foto dua orang anak kecil anak ingusan yang baru kenal dunia
itulah kami berdua memegang seekor ayam jantan yang harus mati mengenaskan
masuk sumur, ayam jantan kesayanganku, menjadi kenangan kami berdua.
Di satu sisi lagi ada foto kelulusan
tiga tahun lalu masa-masa putih abu-abu dua remaja Bengal namun menyenangkan,
dari situ pula titik kemelut tentang apa yang aku benci sekarang, timbul enam
bulan setelah lulus, setelah aku manggut atas keputusan Abah agar aku tidak
meneruskan sekolah ke jenjang kuliah.
Aku hanya tidur dengan wajah menatap
langit-langit tua itu sekejap saja ingin rasanya memberontak dan mengubah cara
fikir mereka yang terkontaminasi pengaruh kolot dengan ucapan yang tidak
berlandasan.
Entah kenapa semua kenangan itu
kembali kenangan sebuah pertemuan yang berawal manis dan sangat manis, biar ku
susur ulang kisah itu dimana aku bisa seperti ini, kususur ulang bagai mana aku
pertama kalinya dipertemukan apa itu cinta dan dipertemukan dengan masalah
besar.
Akan ku coba ceritakan meskipun disini
hanya atap-atap tua yang menyaksikanya.
Tags :
Cendek
Related : cerita pendek : SUNDA-JAWA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment