Kusibakkan tirai
berwarna hijau tua jendela kaca yang lumayan lebar. Kulihat nampak hijaunya
lapangan apel. Kembali ingatanku saat
suamiku mendamping Danyon memberi
pengarahan kepada lima ratus prajurit yang akan berangkat menunaikan tugas ke
ujung timur indonesia. Begitu gagahnya mereka, memanggul ransel bertopi rimba
dan menyandang senjata. Saat itu kata-kata yang di ucapkan Danyon berhasi l
membakar semangat juang semua prajurit. Jawaban serentak, yel-yel yang kompak
dan jiwa korsa yang dibakar membuat suasana saat itu begitu penuh api
perjuangan. Tetapi itu bayangan setahun yang lalu setelah upacara pelepasan.
Tangis pilu anak-anak memanggil ayahnya, senyum manis tertahan rasa bangga dan
kesedihan ibu-ibu melepas keberangkatan suaminya dan berharap kembali dengan
selamat membuat suasana haru kala itu.
“Tok.....tok...tok...
selamat pagi ibu, ijin.... semua anggota
sudah siap diaula...”. Suara seorang anggota menghentikan lamunanku.
“iya,
sebentar lagi....saya kesana”
“siap
terimakasih...”.
Anggota itupun berlalu. Kulirik meja kerja suamiku. Kulihat sebuah
fotoku, dan Adit anak suamiku dengan istri pertamanya. Saat ini beban dipundakku terlalu berat hingga untuk
menolehpun kurasa tak sanggup. Untuk
berjalan serasa terseok-seok, apalagi harus menatap jauh kedepan. Badai yang
kulalui begitu kencang hingga tiang penyangga layar terkoyak. Perahu yang
kunaiki terhempas oleh gulungan ombak yang bertubi-tubi. Tapi aku harus kuat.
Aku harus terus bertahan. Aku harus terus mengayuh ketepian ketempat yang aman.
“Bunda,
titip Adit.... semua istri dan anak-anak anggota. Kunjungi mereka kerumah kalau
ada waktu luang. bunda yang tabah ya....
bunda harus kuat, bunda harus bisa jadi panutan mereka. Dampingi ibu Danyon
memimpin ibu-ibu disini. Ajak mereka selalu mendoakan suami-suaminya. Ingatkan
hati-hati dan sabar mendidik putra-putrinya, dan selalu setia menunggu
kedatangan kita” . Disini, ya diruangan ini Mas Dimas suamiku yang menjabat
sebagai Wadanyon memelukku dan mengucapkan pesan terakir sebelum berangkat. Aku
tidak menyangka jika akan berakhir
seperti saat ini.
Aku harus bagaimana?, aku harus
mulai darimana? Menyampaikan kenyataan pahit didepan para Istri prajurit yang seharusnya hari ini adalah hari upacara
penyambutan suaminya. Oh Tuhan.... belum juga aku bisa membuat airmata bu Joni
dan bu Heru berhenti menitik karena suaminya gugur bulan lalu dan pulang dalam
peti berbungkus bendera merah putih. Belum juga aku bisa mengembalikan senyum
Edo dan Santi putra putrinya. Dadaku sesak, kakiku gemetar, bibirku kelu,dan
bendung air mataku rutuh setelah empat hari yang lalu aku jaga. Bulir-bulir
bening hangat mulai melintas dipipiku. Hidungku memerah dan air tak dapat ku
tahan lagi.
Hari ini aku harus mewakili ibu
Danyon memang sudah lama sakit yang kini dirawat karena shok berat atas
gugurnya Danyon. Aku harus menyampaikan berita pahit kepada ibu-ibu yang suaminya
gugur karena kapal yang mengankut pasukan diterjang badai dilaut Banda.
Sebagian dari mereka ada yang gugur, selamat, dan ada yang belum ditemukan
termasuk Mas Dimas suamiku.
Kutarik
nafas panjang , kuusap air mata ini, kutegakkan badan dan menggumam dalam hati.
Aku harus tegar, aku harus bisa jadipanutan, aku harus kuat.
“tok...tok.....
“ suara pintu kembali diketuk. Seorang anggota kembali datang.
“ijin
ibu, ibu-ibu sudah menunggu..” ucapnya.
“iya
aku kesana sekarang” jawabku lirih . mungkin anggukanku yang membuatnya minta
ijin berlalu.
Dengan langkah pasti penuh
keyakinan aku keluar menuju aula. Kudapati beberapa anak becerita. Kudengar
salah satu diantar mereka mengucapkan sesuatu yang membuat langkah pastiku
kembali gotai.
“icha,
kata ayah nanti kalau pulang mau bawain coklat papua...”
“kalau
ayahku mau bawain mobil-mobilan buat adik, terus nanti kalau ayah datang mau
ajak kita pulang ke Makasar kerumah nenek...” ucap Dinda. Setahuku Dinda adalah
putri serka Herman yang juga gugur.
Tidak kusadari kertas berisikan
nama-nama prajurit yang gurur dan yang belum ditemukan kuremas-remas hingga
kusut. Kembali air mata ini harus kutahan hingga perih kurasa. Langkahku tidak
setegap tadi kini langkahku gontai mendengar sayup sayup dari dalam aula
terdengar suara lagu mars Persit yang dinyanyikan ibu-ibu.
“bersatulah
kartika Chandra Kirana
Membantu,
memupuk, membangun
Mendorong
suami kemedan juang untuk nusa dan bangsa
Berikanlah
semangat kepada tugasnya mempertahankan Indonesia
Hiduplah
Kartika Chandra Kirana Hiduplah bersaudara
Untuk
selama-lamanya”
Lirik lagu itu ternyata mampu
memberiku sedikit energi untuk memasuki ruangan. Aku kembali harus berjuang
menahan gundah gulana dihatiku ketika aku melihat wajah-wajah sendu ibu-ibu
berpakain hijau muda. Aku yakin pemberitaan di TV sudah membuat mereka sedih.
Ada dua puluh ibu yang harus kuberikan kabar pahit.
Setelah memutar-mutar kata,
menyampaikan naseht-nasehat tibalah saatnya kubacakan kedua puluh anggota yang
gugur dan kesepuluh anggota yang belum ditemukan.
Sekejap
suasana begitu hening, bahkan jam dinding terasa berhenti berdetak ketika
kubacakan semua. Aku heran mengapa justru suasana menjadi hening. Kuangkat
kepalaku dan berjalan mendekat pada mereka. Ku hampiri ibu Heri yang diam
meremas-remas roknya. Dengan suara serak terbata-bata aku bertanya padanya.
‘bu,
kalau ibu mau menangis-menangislah...kalau ibu mau menjerit-menjeritlah....”
Kurangkul
dan kugengnggam tangannya. Dia hanya diam membisu dan tetap meremas-remas
roknya. Ganti kudekati bu Kusmiaji yang suaminya juga gugur.
“bu,
doakan bapak ya, semoga bapak menjadi syahid.... ibu ayo gak apa-apa kok kalau
mau menangis.....” .
Dia juga diam membisu dan
kulihat kesemua penjuru ruangan semua juga tidak ada yang menagis. Aku bingung,
apa yang terjadi, mengapa mereka hanya diam? Apakah mereka belum percaya kalau
suami mereka telah gugur? Apkah aku kurang jelas menyampaikan?. Aku berdiri
diantara ibu-ibu yang memndangiku. Aku bak orang pesakitan yang menunggu
hukuman. Kudekati lagi bu Syafei yang suaminya juga gugur. Bu Syafei sudah lama
mendapingi suaminya dan hidup dilingkungan asrama.
“bu,
ke......kenapa ibu-ibu justru diam?”
“ijin
ibu, kami pantang menagis menyambut kedatangan suami kami bu, kami akan
menyambut bapak tanpa air mata, agar bapak bangga dan senang melihat kita bu..”
Ucapan itu bagai hujan air es
menyirami gurun gersang bertahun-tahun. Aku tidak menyangka begitu besar jiwa
persit yang tertanam dihati mereka. Aku, aku hanya istri pimpinan yang masih
kalah pengalaman dengan mereka. Sungguh pelajaran yang berharga. Mental-mental
baja para istri pendamping prajurit benteng terkhir bangsa.
0 komentar:
Post a Comment