Tidak ada yang aneh di pagi itu, gerombolan orang mulai
memasuki area kampus. Aan yang berangkat sendirian naik sepeda motor mulai
memasuki area parkir yang terletak di pojok kanan kampus. Belum terlalu penuh
tapi juga tidak terlalu sepi. Pohon-pohon yang tumbuh di setiap sudut kampus
menjadikan hawa segar begitu terasa. Di ufuk timur nampak matahari yang mulai
melirik memberi senyuman indahnya. “hai An” sapa seorang gadis berambut
panjang. “hai ta” Aan balik menyapa. Ia melanjutkan langkahnya menuju gedung
temapat ia kuliah nanti, sekitar 100 meter dari tempat ia memarkirkan motor.
Aan memasuki sebuah ruangan di lantai 2. Beberapa
temannya sudah duduk di dalamnya. Ia mengambil tempat duduk di barisan sebelah
kanan. Tak lama berselang, masuk seorang gadis dan duduk di sebelah Aan. “kamu
sudah selesai tugas kimia Anorganiknya An” tanya gadis itu. Dengan nada santai
ia pun menjawab “Udah, tapi belum diprint, ngga ada flashdisk, nanti aku pinjam
ya?” “iya, nanti aku sekalian nitip” (sambil mengulas senyum).
Tanpa disadari Aan begitu senang melihat senyuman yang
merekah di wajahnya, menambah manis rupanya. Namanya Diana. Hatinya takjub pada
ciptaan Tuhan yang satu ini. Entah sejak kapan ia menaruh hati padanya, namun
tak ada yang tahu akan hal itu. Ia takut perasannya hanya sebuah kekaguman pada seorang teman,
tapi ia benar-benar mengaguminya.
Oh tuhan, terimaksih kusampaikan
Engkau ciptakan
bidadari nan cantik jelita
Menghiasi dunia yang
indah ini
Senyumannya yang
selalu memberikan kedamaian hati
Suaranya yang slalu
mengalihkan pendengaranku
Batapa bahagianya kini
aku ada di sampingnya
Bisakah hati ini
bereaksi?
yang kuinginkan adalah
reaksi tanpa penambahan katalis
reaksi tanpa energi
aktivasi yang tinggi
reaksi yang akan
menghasilkan warna yang indah
seindah intan yang
tersusun oleh ikatan yang kuat antar karbon-karbon
Dalam hitungan detik tersusun lantunan kata-kata indah,
tiba-tiba sepasang sayap muncul dari punggungya. Tubuhnya terangkat 1 cm, 2 cm,
1 m, 2 m, dan terus terangkat. Duuuuggg..... ia merasa ada yang menghantam
kepalanya, ia tak sadar bahwa ia tengah mengambil balpoinnya yang jatuh dan
kepalanya menyundul kursi. Diana hanya tersenyum melihat Aan yang tengah
meringik kesakitan sambil mengelus-elus kepalanya, tersipu malu. Ia marah pada
dirinya sendiri, pada hatinya, pada pikirannya yang tengah berputar-putar tak
tau arah.
“apa aku benar-benar menyukainya?
“iya, aku jatuh hati padanya.”
“apakah aku harus mengatakan padanya?”
“mungkin
iya, sebelum ada yang mendahuluiku.”
“tapi aku tak yakin kalau ia juga suka padaku.”
“aaaahhhh..itu
urusan nanti, yang penting aku sudah berusaha.”
“tapi aku takuuuut.”
“apa si
yang aku takutkan?”
“aku takut kalau nanti ia akan marah padaku.”
“hmmm.. kenapa harus marah? Emangnya salah ya kalau
mengungkapkan perasaan?”
“tapi kadang ada yang seperti itu.”
“apakah
dia sama dengan yang lain?”
“tau ah gelaaap.”
“tapi
kalo aku keduluan yang lain gimana?”
Aan semakin pusing dengan kata hatinya yang sibuk
bercakap-cakap sendiri. Ia membayangkan apa yang akan terjadi nanti jika ia
bertindak, dan apa yang terjadi pula jika ia terpaku dalam diam. Dadanya
terangkat kemudian turun kembali sambil menghela nafas, setidaknya membuat
hatinya lebih tenang.
“serius amat An?” tanya Diana pada Aan yang kemudian
langsung mengalihkan pandangan kepadanya.
“Ah.. enggak kok, ingin fokus aja” jawabnya gugup
menutupi perasannya.
“ciyaaahhh... tumben” Diana mencoba meledek.
Aan mencoba lebih rileks.“lho kan biar nanti dosen
datang aku udah siap menerima transfer ilmu darinya,, hehehe”
Diana ikut tertawa mendengar jawaban Aan “iya deh ,,
iya.”
Aan tak menjawabnya lagi. Ia kembali sibuk dengan perasaannya
yang tengah melanjutkan percakapan pribadinya. Ia tengah berada di persimpangan
hati dan pikiran, harus ke kanan ataukah ke kiri, tak ada yang menjadi pemandu.
Perlahan ia mencoba mengabaikan pikirannya itu untuk bisa fokus ketika sang
dosen datang ke kelas.
Beberapa hari kemudian Aan mendengar kehebohan
teman-temannya di kelas. Mereka sedang asik meledek Diana yang baru saja mempunyai
pasangan. Aan tetap tersenyum dan turut meledek Diana, namun di balik senyumnya
itu hatinya menangis. Kepulan asap hitam menyerang dirinya. Gelombang laut
menghantam hatinya. Keringat dingin bercucuran di tubuhnya. Ia kembali teringat
dengan percakapan hatinya. Harapannya seakan sirna tertutup awan hitam. Ia
merasa dialah satu-satunya orang yang tidak beruntung. Kakinya lemas tak mau
terangkat. Ia langsung menuju salah satu kursi di barisan belakang dan membuka
tas untuk mengambil buku, mencoba mengalihkan hati dan pikirannya...
Kegiatan Aan di kampus hari itu telah selesai. Ia hendak
pulang ke kosnya, menuruni tangga menuju lantai 1. Ia baru saja kuliah di
lantai 3. Ia berjalan pelan, di belakangnya ada Ririn teman sekelasnya. Langkah
mereka pun didiringi dengan obrolan ringan, namun tiba-tiba Ririn menunjukkan
wajah serius. “An, gimana perasaanmu? Tanyanya lirih. “Perasaanku? Maksudnya?”
Aan belum paham juga. “ya, perasaanmu. Sebenarnya kamu suka sama Diana ngga?”
“kok kamu tanyanya seperti itu?” Aan tak langsung menjawab pertanyaan Ririn.
“gini An, sebenarnya dari dulu Diana suka sama kamu. Dia berpikir kalau kamu
juga suka padanya. Tapi tak kunjung ada trespon dari kamu. Lantas dia berpikir
kamu memang tak ada perasaan padanya.”
Aan tertegun sejenak dan bertanya dengan gugup “jadi,
dia suka padaku?” “iya, dulu sebelum ia memutuskan untuk membuka hatinya pada
yang lain, kamu benar menyukainya An?” Seketika hati Aan membeku, ia menyesal
pada dirinya sendiri. Ia merasa menjadi sebuah liliput dalam dunia raksasa yang
tak bisa berbuat apa-apa.
“An.. Aan...” suara Ririn mengagetkan Aan. “iya rin, aku
menyukainya,, eh. Maksudku menyukai sebagai teman, ngga lebih.” Jawab Aan agak
gagap. “jangan bohong kamu An” desak Ririn. “beneran Ririn, Diana kan emang
teman yang asik, jadi aku suka aja berteman sama dia” Aan berdalih. Ririn masih
tak percaya. Aan bisa menangkap rasa penasaran dari wajah Ririn, namun ia tak
menghiraukannya. ”ya udah kalo begitu” Ririn menyudahi rasa penasarannya. “Aku
duluan ya, udah ditunggu teman” Aan berusaha menghindar dari Ririn untuk
menutupi perasaan yang tergambar di wajahnya. Ia tahu bahwa Ririn dapat melihat
rasa kegundahan Aan. Aan hanya bisa menerima nasibnya yang belum bisa menggapai
harapannya. ia akan tetap tersenyum bahagia melihat Diana yang selalu menghadirkan
senyum manis di setiap harinya. J
0 komentar:
Post a Comment