Hujan mengguyur Semarang sore itu. Dua bidadari kecil asyik
bercengkerama bersama sang Bunda di teras rumah. Dingin memang, tapi canda tawa
menghangatkan suasana. Satu per satu perbincangan mengalir. Tentang cita-cita,
sekolah, liburan, tayangan televisi, sampai tentang keluarga kecil yang kini
mulai terpecah belah.
Seorang wanita tiga puluh tujuh tahun bernama Dyah,
terkungkung status dan kenyataan yang tak sejalan. Paras cantik, tinggi
semampai, kulit kuning langsat, karir mantap sebagai seorang dosen, dan
sekarang sedang manjalani pendidikan S3 di salah satu universitas negeri
ternama. Siapa mengira kisah cintanya begitu menyakitkan. Tiga belas tahun
menikah dengan pria idola kampus, jenius, tapi dicampakkan. Hati wanita mana
yang tak sakit? Menghidupi dua putri cantik seorang diri, ditinggal suami tanpa
dinafkahi.
"Bunda, kapan Ayah pulang?" pertanyaan yang
seringkali diucapkan si sulung Nabila. Seribu jawab pun Dyah lontarkan.
Berkilah ini itu, tetap menjaga jalinan kasih di batin anak dan Ayah walaupun
dirinya tak tahu pasti kapan suaminya kembali.
"Sabar, Ayah pasti pulang. Makanya, Nabil sama Nissa
harus rajin berdoa agar Ayah sehat, dilindungi Allah, dimana pun Ayah berada.
Ya, nak?" dengan senyum getir, Dyah berusaha kuat demi kedua buah hatinya.
Ia mengerti, apa yang terjadi tak luput dari kesalahannya di masa lalu, memilih
tetap tinggal di Kota Semarang bersama Ibundanya dan adik-adiknya sedangkan
sang suami bekerja di Jakarta. Tentu saja, saat itu Ia berada pada kebimbangan.
Di satu sisi, Ia tak mau menjadi anak durhaka, tidak menuruti permintaan
Ibundanya yang tengah dirundung duka karena kepergian sang Ayah untuk selamanya.
Di sisi lain, Ia pun seorang istri yang baru membina rumah tangga, dan
seharusnya Ia pun berbakti kepada sang suami. Suami jarang pulang, nafkah pun
kurang. Ingin menyalahkan, tapi diri tak luput dari kesalahan. Ah... Dyah hanya
mampu berpasrah kepada Yang Maha Kuasa.
"Sabar sabar terus... memangnya Ayah gak kangen kita ya
Bun?" Nabil memanyunkan bibirnya sembari menggulung ujung jilbabnya.
"Ayah pasti kangen, nak. Tapi Ayah sibuk. Nanti juga
pulang... atau nanti kalau Nabil dan Nissa sudah libur sekolah, kita yang kunjungi
Ayah ya?"
"Asyiiik...!!" seru Nabil dan Nissa sambil
tersenyum cerah.
***
Adalah hal yang manusiawi bagi seorang perempuan yang bukan
lagi gadis perawan, membutuhkan kasih sayang dalam sentuhan. Sang suami, hanya
pulang ketika Idul Fitri tiba. Itu pun hanya beberapa hari saja. Tak ada quality time yang sempurna untuk
keluarga kecil ini.
Rabu menjelang, aktivitas berjalan seperti biasa. Nabil dan
Nissa bersekolah, sementara Dyah pergi ke kampus untuk memberi kuliah setelah
mengurus Ibundanya di rumah. Enam SKS harus rampung hari ini. Hanya bersama
teman Dyah bisa menumpahkan keluh kesahnya. Sebagai teman baik, Fachry, yang
juga seorang dosen dan menjalani pendidikan S3 teknik kimia bersama Dyah di kampus
yang sama, rela mengorbankan waktunya untuk sekedar memberi bahu sandaran.
"Gimana? Apa kamu masih mau diperlakukan seperti ini sama
suamimu?" tanya Fachry siang itu, memecah keheningan setelah setengah jam
Ia duduk bersama Dyah di dalam mobilnya, di parkiran kampus. Dyah masih
terisak. Sesak. Itu yang Ia rasakan saat ini. Sudah berkali-kali Ia mencoba
menghubungi suaminya baik melalui telephone, SMS, bahkan email. Hasilnya?
Nihil.
"Aku gak tahu Fachry... Aku bingung. Anak-anakku masih
butuh dia," Dyah menyeka air matanya.
“Kasihan Dyah... seharusnya, bukan seperti ini pernikahan
yang Ia jalani. Bajingan tengik lelaki yang menyia-nyiakannya!” rutuk Fachry dalam hati. Fachry
merangkul Dyah, membiarkannya membenamkan wajah di dada bidangnya. Hangat
sekali simpati ini bagi Dyah. Fachry sadar, Ia menyayangi Dyah apa adanya.
Wanita ini, begitu terluka dan hanya kasih sayang yang dapat membasuh lukanya.
Dikecupnya ubun-ubun Dyah, walaupun jilbab menutupi tiap helai rambutnya yang
hitam berkilau.
"Berhentilah Dyah... Kamu terlalu lelah memikul beban
ini seorang diri," ujar Fachry.
"Fachry... Apa semua lelaki itu sama? Mudah jatuh cinta,
mudah juga melupakan?" Dyah kini menatap mata Fachry dengan lekat.
"Tidak. Mungkin tidak semua demikian..." jawab
Fachry lembut. Tanpa sadar, dua pasang mata menelikung rasa. Tak ada lagi
status, tak ada lagi batas, tak ada lagi malu, tak ada... selain kecupan-kecupan
lembut saling berbalas di bibir, kening, pipi. Fachry tak kuasa mengecup
jejak-jejak air mata yang membasahi wajah Dyah. Wanita ini terlalu cantik,
terlalu letih, dan disayangkan jika disia-siakan.
"Maafkan Aku," Fachry menjauhkan dirinya dan memalingkan
wajah. Ia khawatir terlalu jauh. Apa jadinya jika Ia sama dengan bajingan
tengik yang mencampakkan Dyah? Bagaimana istri dan anak-anaknya di rumah?
Dyah menunduk. Ia tahu, Ia pun salah. Tapi, kelembutan Fachry
adalah kelembutan yang hangat. Ia tak pernah nyaman berbagi dengan teman lain
sejauh berbagi dengan Fachry.
"Maaf Fachry. Aku hanya wanita biasa. Aku tak bisa
menahan diri," Dyah bergegas membuka pintu mobil.
“Ah, sial! Bodoh jika membiarkan Dyah berlalu!” Fachry
bergelut dengan batinnya sendiri. Jujur saja, Dyah lebih cantik dari istrinya
di rumah. Belum lagi, Dyah wanita yang cerdas, bukan Ibu Rumah Tangga biasa. Fachry
menarik lengan Dyah, membalikkan tubuhnya, dan menciumi bibir tipis Dyah
berkali-kali. Tak ada penolakan, selain pagut balasan. Tak peduli cinta, noda,
status, keluarga, ikatan, komitmen, agama, dosa... hanya dua insan yang
menikmati hasrat ragawi, manusiawi, yang tak luput dari kobaran nafsu berbalut
asmara merdu.
***
Jum'at pagi di Jakarta Kota, Alan merenungi segala memori
yang terlintas dalam benaknya. Di benaknya, muncul wajah Dyah, Nabil dan Nissa
yang lama tak bersua dengannya. Sedang di pelukannya, tertidur lelap istri
keduanya, Ambar. Andai kini yang dipeluknya adalah si cantik Dyah, betapa rindu dirinya mengecup
lesung pipit cinta pertamanya. Tapi, entah seberapa murni rasa rindu yang
datang melanda. Sayang seribu sayang, Ambar memang bukan wanita berpendidikan
tinggi, sholeha, dan sangat cantik seperti Dyah. Tetapi, kini wanita kedua yang
hadir dalam hidup Alan, adalah wanita yang tunduk pada suaminya. Ambar dan Dyah
memang tak sebanding dalam hal status, pendidikan, ekonomi, karir, fisik...
bukan semua kategori itu yang menjadi idaman Alan.
Sepuluh tahun yang lalu, saat Alan merantau ke Jakarta
berbekal ijazah magister manajemennya, Alan mencoba berfikir logis. Dirinya
hanya laki-laki biasa yang butuh pendamping di setiap suka dukanya. Sedangkan
sang istri, bersikeras untuk tetap tinggal dan membiarkan suaminya berjuang
seorang diri, mencari pekerjaan baru yang layak setelah dirinya di PHK dari
salah satu perusahaan swasta di Semarang. Dulu, Dyah hanya mau menunggu sampai
suaminya pulang. Ia tak mau tahu bagaimana suaminya mengurus pakaian,
menyiapkan makan, memasak air hangat untuk mandi. Sejak Alan sudah bekerja di
salah satu multinational company dengan gaji dua puluh empat juta rupiah per
bulan, Dyah semakin sering menghubungi Alan walaupun setiap menghubungi Alan,
hanya dua pertanyaan yang Dyah lontarkan, "Kapan Ayah pulang ke Semarang?
Ayah sudah transfer uang belum?" itu saja.
Alan merasa menjadi laki-laki tanpa harga diri setiap Dyah
mengeluh karena uang separuh gajinya per bulan yang Ia kirimkan dianggap
terlalu kecil dan selalu Dyah kembalikan. Tak sebanding dengan pendapatannya
sebagai dosen dan wirausahawati dalam kosmetik. Alan mulai berubah, tak lagi
memikirkan tanggung jawab sebagai seorang suami terhadap Dyah. Sedangkan Ambar,
tak pernah rewel dalam keuangan.
Alan membelai Ambar yang kini dikenangnya rangkaian masa lalu
mereka. Dulu, Ambar hanya gadis belia, berumur sembilan belas tahun, lebih muda
sembilan tahun dari Alan. Ia gadis periang yang tinggal di rumah samping kost
Alan. Setiap pagi dan sore, Alan selalu mampir ke kantin yang di buka orang tua
Ambar di garasi rumah mereka. Ambar selalu melayani dengan ramah, dan tak
jarang Alan meminta Ambar sendiri yang memasak menu pesanannya. Rasa masakan
dari tangan wanita tentu saja jauh lebih nikmat, pikirnya. Ah, sedangkan Dyah,
tak pernah ada untuk memberinya hidangan lezat sekalipun itu hanya tahu dan
tempe goreng saja.
"Ayah? Sudah bangun daritadi ya?" Ambar
mengerjapkan matanya. Ia baru sadar cahaya matahari sudah menembus jendela
kamar. Terlalu lelap, sebab sunah rasul semalam.
"Belum lama kok Bunda," Alan tersenyum sambil
mengecup kening istrinya.
"Hm... Sebentar ya, Bunda siapkan air untuk Ayah
mandi," Ambar bergegas mengenakan kimono satinnya dan menuju kamar mandi.
***
Ambar sudah menghidangkan nasi goreng dan telur dadar di meja
makan. Alan memeluk istrinya dari belakang. Pelukan pagi yang begitu mesra di
hadapan putra-putri mereka. Ayu dan Bagus, sepasang anak kembar mereka, berumur
enam tahun, sangat senang melihat Ayah Bundanya berseri bahagia.
"Ayo Ayaaah, kita makaaan...!" Ayu menari kemeja
Ayahnya agar Ia duduk dan sarapan bersama.
"Iya, iya sayang... sarapan yang banyak ya,"
"Ayah, hari ini Aku latihan tae-kwon-do di sekolah.
Minggu depan ada pertandingan. Ayah sama Bunda datang yaaa...!" ujar Bagus
bersemangat.
"Iya, nak. Nanti Ayah datang sama Bunda," Alan
menggenggam telapak tangan putranya. Begitu mirip wajah Bagus dengan dirinya.
Putra tunggal yang sangat Ia dambakan sejak lama kelahirannya.
"Ayo ah, kita sarapan dulu. Nanti terlambat semua nih
berangkatnya kalau ngobrol terus," kata Ambar. Betapa membahagiakannya
keluarga kecil ini. Sepasang suami istri penuh kasih sayang, menikmati pagi
bersama putra-putrinya tercinta.
***
Dyah menjalani hari-harinya dengan lebih riang. Sempat Ia
lupakan rencananya untuk mencari keberadaan Alan di Jakarta. Lebih baik
menunggu Alan pulang lebaran nanti. Kini, Ia sudah mempersiapkan bahan ajar
mengenai Biogas. Di liriknya jarum jam pada arloji pemberian Fachry yang kini
Ia kenakan. Arloji kulit ini cukup mahal. Baru pertama kali ada lelaki selain
suaminya yang memberi hadiah semahal ini hanya dalam rangka merayakan
keberhasilan Dyah atas presentasi jurnalnya minggu lalu.
"Hey..." sepasang tangan kekar yang sudah
dikenalinya melingkar di pinggang Dyah.
"Ssst...! Apa-apaan Kamu?! Nanti ada yang lihat!"
Dyah meronta, melepaskan tubuhnya dari kedua tangan Fachry.
"Parkiran kan sepi. Lagi pula, Aku kangen tahu..."
ujar Fachry. Dyah dapat merasakan pipinya panas dan bersemu. Dyah menunduk malu
dan bergegas menuju gedung kampus setelah mengunci mobilnya. Fachry melangkah
mengikuti Dyah dari belakang. Menit demi menit berlalu. Tiga SKS telah rampung
untuk pembahasan mengenai Biogas Lemak Sapi. Sepanjang waktu, Dyah merasa
takjub akan dirinya sendiri. Rasa percaya dirinya hari ini sangat tinggi,
hingga dapat menghidupkan kegiatan diskusi di ruang perkuliahan. Fachry dengan
sabar menunggunya di Parkiran.
"Lama yah nunggunya?" Dyah menepuk pundak Fachry.
Senyum manisnya membuat Fachry makin mabuk kepayang.
"Gak juga sih. Ngobrol di mobil yuk," Fachry
menuntun Dyah untuk masuk ke mobil sedannya. Segera Fachry menyergap tubuh Dyah
dengan peluk mesranya. Drrrttt... Drrrttt... Drrrttt...
"Ah! Siapa sih?!" Fachry mengambil ponselnya yang
bergetar di dashboard.
Mama
Calling...
"Ah, biar saja. Aku mau memanfaatkan waktu kita berdua
cuma untuk kita sayang," Fachry kembali memeluk Dyah dan mengecup mesra
bibirnya hingga gairah mulai sampai ke ubun-ubun. Di sibaknya jilbab putih
Dyah. Drrrttt... Drrrttt... Drrrttt... Drrrttt...
"Ah! Mau apa sih dia?!" Fachry benar-benar jengkel
sekarang. Ia tak bisa konsentrasi menggumuli wanita cantik dihadapannya.
Mama
Calling...
"Angkat saja dulu. Mungkin penting," Dyah berusaha
tampak sabar walau hatinya juga kesal. Fachry pun mengangkat telephone dari
istrinya.
"Ada apa Ma?"
...
"Hah?! Kok bisa Ma? Mama itu bagaimana sih! Mama di
rumah ngapain aja?! Sampai Reyhan kayak gitu!"
...
"Ya sudah, Papa pulang sekarang!"
...
"Ada apa? Kenapa Kamu kesal?" tanya Dyah
berhati-hati. Fachry tampak kesal. Dyah bingung, tak tahu apa yang terjadi pada
istri dan anak Fachry.
"Aku harus pulang sekarang. Besok saja kita lanjutkan.
Reyhan jatuh dari sepeda katanya. Harus di bawa ke rumah sakit karena lukanya
besar, mungkin perlu di jahit," ujar Fachry.
"Okay, Aku mengerti. Semoga Reyhan cepat sembuh
ya..." Dyah tersenyum dan segera mengenakan jilbabnya, merapikan kerah
kemejanya yang agak berantakan.
"Maaf ya sayang..." Fachry mengecup kening Dyah
sebelum akhirnya Dyah turun. Dyah hanya mampu menatap mobil Fachry yang melaju
pergi menjauh.
***
Lelah, dan hal paling menyenangkan untuk menghilangkannya
adalah pulang ke rumah, berpeluk manja pada istri tercinta, bercengkrama dengan
si kembar Ayu dan Bagus. Bahkan, baru membayangkannya saja Alan sudah merasa
sedikit lebih segar. Sore yang macet di Jakarta kota. Tentu saja, semua orang
berkendara pulang dari kantornya menuju rumah. Sambil menunggu antrian
kendaraan panjang maju, Alan menyalakan ponselnya.
2 New
Messages
Bunda
Dyah
Di
bukanya satu per satu SMS dari istri pertamanya. Alan begitu terkejut membaca
isi SMS itu.
From: Bunda Dyah
Fachry, aku rindu peluk kamu. Besok kutunggu
seperti biasa :)
Alan mengernyitkan kening, mencoba berfikir jernih. Alan dan
Dyah saling mengenal teman-teman satu sama lain. Ia mencoba mengingat, adakah
teman dekat Dyah yang bernama Fachry?
Alan segera membuka SMS kedua dari Dyah. Rasa penasaran dan
terkejut memicu adrenaline.
From: Bunda Dyah
Maaf Ayah, tadi salah kirim, untuk teman dekat.
Kapan Ayah pulang?
Ada keraguan dalam benak Alan. Tak tahu lagi apa yang harus
Ia katakan untuk membalasnya. Alan segera memasukkan kembali ponsel ke sakunya.
Antrian kendaraan yang tadinya padat merayap sudah mulai melaju perlahan.
***
Rasa takut menggempur bathin Dyah. Ah, tamat sudah
riwayatnya. Dyah mengutuk dirinya sendiri atas kecerobohannya. Bagaimana jika
Alan curiga dan tahu selama ini dirinya telah menodai ikrar suci mereka dimana
saksinya tak hanya manusia, tetapi para malaikat dan juga Allah. Dyah mengunci
kamarnya, menjauhkan diri dari pandangan putri-putrinya. Ia menangis dalam
ketakutan dan keputusasaan. Tak kunjung ada balasan SMS dari Alan. Berkali-kali
Ia mencoba menelephone Fachry, tak jua ada sahutan selain suara operator
mengalihkan ke voice mailbox. Dyah tak peduli, Nabil dan Nissa, bergantian
dengan Ibundanya mengetuk pintu kamar untuk mengajaknya makan bersama. Dyah
terus menangis dalam keheningan, hingga matanya terpejam.
Dyah
terbangun.
Hangat...
Ia
membuka matanya perlahan. Rasanya sulit menyadari dimana dirinya saat ini.
"Sudah bangun, nak?"
suara itu...
"Ayah?" Dyah terkejut menyadari dirinya sedari tadi
berbaring dengan berbantalkan paha Ayahanda yang sudah tiada. Diusapnya kepala
Dyah dengan penuh kasih.
"Istiqarah, nak. Minta sama Yang Kuasa, petunjuk yang
mana yang terbaik. Berdoa. Bukan putus asa," ujar Ayahanda dengan lembut.
Dyah menangis sejadi-jadinya. Ia merasa kotor bagi suami, anak-anak, dan orang
tuanya. Ia terus memeluk erat sang Ayahanda. Kerinduannya meluap-luap. Melebihi
kerinduannya pada siapa pun...
***
Alan masih terpaku pada layar ponselnya. Dengan segera, Ia
menyalakan laptop dan membuka browsernya. Segala akses internet yang
mengantarnya pada nama sang Istri dibukanya. Beberapa link Ia jelajahi, hingga
akhirnya Ia menemukan satu nama dalam blog Istrinya. Ada nama pemberi komentar,
Fachry Fachrurrozy. Disimak dengan baik satu per satu komentar Fachry yang
mengapresiasi setiap artikel Dyah. Alan menyadari, Fachry bukanlah orang lama
dalam kehidupan Dyah dan juga tak pernah Alan mengenalnya sebagai teman dekat
Dyah. Ia, orang baru di kehidupan mereka.
"Liat apa sayang?" Ambar memeluk suaminya dari
belakang.
"Ini, lagi liat blognya Dyah,"
"Ada apa dengan Mbak Dyah?"
"Aku sedang curiga dengan satu nama. Ini loh, yang
namanya Fachry..." Alan menunjukkan semua komentar Fachry pada blog Dyah. Ambar
memang istri kedua yang kehadirannya dirahasiakan oleh Alan kepada Dyah maupun
keluarganya. Ambar selalu bersabar, mencoba mengerti dan memahami posisinya
sebagai istri muda. Walaupun Ia sangat ingin mengenal keluarga Alan, tetapi Ia
harus menghargai suaminya yang sudah terlebih dahulu membina rumah tangga. Ia
tak mau menjadi wanita dengan jiwa yang kerdil.
"Mungkin hanya teman sayang. Kenapa? Ayah khawatir Mbak
Dyah selingkuh?" tanya Ambar mantap.
"Hm... Jika memang iya, Ayah terima. Toh, Ayah juga
lelaki biasa. Ayah sudah terlebih dahulu membawamu masuk sebagai pendamping
Ayah," ujar Alan.
"Benar Ayah ikhlas?"
"Iya Bunda... Ayah ikhlas. Jika memang Dyah bahagia,
karena Ayah tak mampu membahagiakannya."
Ambar mempererat pelukannya. Alan segera menariknya ke depan,
memangkunya, dan mencium kening istrinya yang tak pernah mengeluh walau Alan
memposisikannya sebagai istri simpanan.
"Jika kehadiranku sudah terlalu parah merusak rumah
tangga Ayah dan Mbak Dyah, Bunda ikhlas mundur kapan pun Ayah mau." Mendengarnya,
bibir Alan terkatup. Ambar sanggup menahan air mata menetes membasahi pipinya
dan bertahan tetap memeluk suaminya.
***
Kereta Argo Sindoro melaju cepat melewati stasiun dari satu
kota ke kota berikutnya sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Semarang. Alan
termenung. Ini memang bukan bulan Ramadhan, tapi Ia cuti untuk memenuhi
panggilan hati. Ia seorang Ayah yang merindukan pula buah hatinya, Nabil dan
Nissa. Mungkin, tak ada Dyah yang menyambutnya di rumah dengan keriangan,
karena Ia akan tiba pada pukul 00.00. Alan selalu berdoa, Dyah baik-baik saja,
begitu pula keluarganya, Ibu mertuanya.
***
Dyah terjaga dari tidurnya. Rasa lelah di sekujur tubuh mulai
hilang. Teringat kenangan bersama sang Ayah, walau hanya mimpi, tapi nyata
rasanya. Istiqarah, itu pesan sang Ayah. Segera Dyah berwudhu dan menggelar sajadah.
Dalam sholatnya, Dyah menggigil mengingat betapa banyaknya dosa yang Ia perbuat
kepada sang suami, kepada keluarga yang Ia cintai. Dyah merasa begitu buruk
telah hanyut dalam hasrat ragawi, mengabaikan harga diri dan kehormatannya
sebagai seorang istri. Tapi... Ia bukan manusia sempurna yang mampu menerima
kenyataan, keterpisahannya dengan sang suami adalah pilihannya. Dan kini, Ia
harus kembali memilih antara suami yang sudah tak lagi ada dalam hari-harinya
atau dengan pria yang mengisi hari-harinya tetapi masih berstatus suami orang.
Alan dan Fachry. Kepada siapa Dyah harus mempersembahkan seluruh cintanya?
***
Alan terpaku di balik pintu yang setengah terbuka, melihat
Dyah sholat bercucuran air mata. Ada kegelisahan yang besar terpancar dari
wajahnya. Alan tertegun, mungkinkah ini semua karena dirinya?
Usai Dyah melepas mukena dan melipat sajadahnya, Alan membuka
pintu kamar. Betapa terkejutnya Dyah, langsung diraih tangan suaminya yang lama
tak pulang. Diciumnya dengan penuh rasa hormat. Alan pun meraih tubuh Dyah,
mendekapnya dalam kerinduan, menyeka air mata yang berjejak di pipinya.
"Kenapa Bunda? Bunda ada masalah? Kok nangisnya sampai
banjir begitu," tanya Alan. Dyah menggeleng. Inikah suami yang Ia
rindukan? Mungkin... Ya, Dyah merindukannya.
"Maaf, Ayah baru pulang. Ayah ambil cuti beberapa hari.
Maaf juga, Ayah gak telephone Bunda dulu sebelum kesini..." Dyah hanya
mengangguk. Lehernya terasa sakit, Ia tak sanggup bersuara. Alan pun beranjak
keluar kamar, tak lama kembali dengan segelas air di tangannya.
"Minum dulu ya Bun..." Alan meminumkan air ke mulut
istrinya. Ia berhutang banyak atas kesabaran Dyah yang menanti-nantinya pulang
ke rumah, menempuh jarak dan waktu. Berharap Ia dapat mencurahkan perhatian
penuh kepada istri dan anak-anaknya. Direbahkannya Dyah di ranjang dan di
dekapnya dalam kehangatan sampai Dyah terlelap.
Subuh menjelang, Adzan menggema di seluruh kompleks. Alan
terbangun. Ingin sekali rasanya berjama'ah dengan bidadari sholeha yang
berbaring di sisinya. Dikecupnya kening Dyah.
"Bunda... bangun sayang," bisik Alan di telinga
Dyah. Tak lama, Dyah membuka matanya. Langsung dipeluknya Alan erat-erat. Dyah
sadar, ini Alan yang sama dengan yang semalam hadir dalam mimpi indahnya.
"Ayo bunda, siap-siap, kita subuhan bareng ya..."
Alan segera bangkit diikuti Dyah.
"Bunda mandi dulu ya Ayah,"
"Iya, jangan kelamaan ya Bunda. Nanti waktunya
habis,"
Dyah segera menuju kamar mandi. Ditanggalkan satu per satu
kain yang menutupi tubuhnya. Tak lama, setelah membilas tubuhnya, Dyah baru
teringat Ia tak membawa pakaian bersih. Terpaksa Ia keluar hanya dengan handuk
yang melilit di tubuhnya.
"Ayah, ayo sekarang Ayah yang mandi. Bunda sudah
selesai," kata Dyah. Alan terpaku menatap istrinya yang sudah lama tak dijamahnya
itu, kini tampil di hadapannya hanya berbalut handuk putih. Dipandanginya
sekujur tubuh Dyah yang masih agak basah, hingga pandangannya terhenti pada
satu titik, belahan dada. Dyah merasa risih dengan pandangan Alan yang tak
biasa walaupun Alan adalah suaminya, kali ini... tatapannya berbeda. Dingin dan
tajam. Alan mendekati Dyah yang berdiri terpaku.
"Ini... siapa yang melakukan?" Alan menunjuk
belahan dada Dyah. Ada bercak merah di kulit putihnya yang tak biasa. Dyah
terkejut, dapat dirasakan pipinya mulai panas.
"I... ini... ini alergi Yah, makanya kaya gini,"
Dyah berkilah dan menunduk. Alan mengangkat dagunya.
"Siapa? Fachry?"
"..."
"Fachry?" Alan mengulang pertanyaannya dengan nada
yang lebih rendah, nyaris berbisik.
"Bu... bukan Ayah!" Dyah mendorong tubuh Alan dan
segera membuka lemari, mengambil pakaiannya dan mengenakannya terburu-buru.
Alan membiarkannya dan segera masuk ke kamar mandi.
***
Pagi menjelang, Alan menghabiskan paginya dengan bercengkrama
bersama Nabil dan Nissa sebelum mengantar mereka ke sekolah. Alan dan Dyah
hanya saling diam, tak menatap satu sama lain. Dyah berpikir keras, apa yang
sebaiknya dia lakukan? Jujur dan memohon maaf atau tetap menyimpan skandalnya
rapat-rapat?
Usai mengantarkan Nabil dan Nissa ke sekolah, Alan berbaring
di ranjang kamarnya. Berkali-kali Dyah lewat di hadapannya, tak ada sepatah
katapun yang keluar. Dyah memutuskan untuk tetap di rumah selama Alan di rumah.
Akhirnya Alan bergeming, menuju meja kerja Dyah dan mengambil ponselnya.
"Berapa kodenya Bunda?" tanya Alan, dingin. Hancur
sudah rumah tangganya jika Alan membaca semua pesan yang tersimpan di
ponselnya, pikir Dyah.
"Hm... Bunda lupa Yah," jawab Dyah. Tapi Alan tak
memaksa dengan menanyakannya lagi. Dyah berharap, Alan tak memaksa.
"Baik, kita tukar dulu Sim Card-nya ya," Alan lalu
membongkar ponsel Dyah.
"Tak perlu Ayah. Bunda ingin bicara," Dyah menarik
tangan suaminya dan mengajaknya duduk di ujung ranjang.
"Apa yang perlu Ayah dengar Bun?" Alan tersenyum,
mencoba membuat Dyah lebih nyaman untuk saling terbuka.
"Bunda minta maaf sebelumnya... Bunda hanya manusia
biasa. Bunda, Nabil, Nissa... Kami kangen sama Ayah..."
"Siapa Fachry?" Alan memotong kata-kata Dyah.
"Kalian selingkuh?"
Dyah tertegun. Beberapa menit hanya keheningan yang hadir diantara
mereka.
"Baik. Mungkin berat bagi Bunda untuk terbuka, karena
Bunda perempuan..." Alan menggenggam tangan Dyah yang mulai dingin.
Berharap dengan cara terbuka terlebih dulu dapat membuat istrinya juga berani
untuk jujur.
"Ayah, juga bukan suami yang sempurna. Tak pernah cukup
memenuhi keinginan Bunda... dan tak bisa menahan diri untuk hidup berjauhan
dengan istri," Alan menghela nafas dalam-dalam. Ini sudah saatnya bagi
Alan untuk berterus terang, "dan Ayah... menikah lagi dengan seorang perempuan,
membina keluarga baru di Jakarta..."
"..." Tangan Dyah semakin dingin. Ia tak yakin
dengan apa yang didengarnya. Seorang Alan yang dulu mempersembahkan cintanya
secara utuh, tanpa Ia sadari sudah dipersembahkan kepada wanita lain.
"Maaf. Ayah minta maaf," direngkuhnya Dyah yang
sudah lemas dalam pelukannya. Dyah tak menangis. Tak ada air mata yang keluar.
Ia meronta, melepaskan pelukan Alan.
"Ya. Itu bagus. Sangat bagus," Dyah
mengangguk-angguk menunjukkan penerimaan dan keterpaksaan.
"Maaf..."
"Tidak. Aku juga sama kotornya. Bahkan Aku berzinah
dengan suami orang," ujar Dyah.
"Maaf... Ayah gagal membahagiakan Bunda,"
"Jika Ayah harus memilih antara Aku dan wanita itu,
siapa yang Ayah pilih? Dan kenapa?" Dyah sadar, pertanyaan ini dapat
membuka peluang adanya hantaman bathin yang lebih keras sekaligus pengharapan
kecil untuk memperbaiki rumah tangganya.
"Ayah pilih... Ambar. Istri kedua Ayah,"
"Kenapa? Apa lebihnya dia dibanding Aku?"
"Bunda... Bunda wanita cerdas. Bunda mampu hidup mandiri
tanpa Ayah. Walaupun demikian, Nabil dan Nissa adalah tanggung jawab Ayah.
Sedangkan Ambar, dia bukan wanita yang mampu mandiri dan mapan. Dia lebih butuh
Ayah... dia hanya wanita tamatan SMA dan sederhana. Ayah, tidak sanggup untuk
hidup berjauhan dengan istri Ayah. Selain itu... dari Ambar, Ayah memiliki
seorang putra,"
Dyah sadar, kepada Alan lah cintanya berlabuh, seharusnya...
kepada Alan lah Ia seharusnya berbakti. Inilah resiko dari pilihannya kala sang
suami pergi merantau ke Jakarta. Bukankah seharusnya seorang istri turut
mendampingi suami dalam susah maupun senang? Dengan egonya, bahkan Dyah tak
mencari tahu keberadaan suaminya... tak mengunjunginya dan hanya mau menunggu
untuk dikunjungi. Permintaan Ibunda, agar Dyah tetap tinggal di Semarang
menemaninya, memang sulit untuk ditolak. Tetapi, bukankah Ia juga memiliki
kewajiban sebagai seorang istri?
"Ayah orang baik," Dyah memberikan senyum penuh
keikhlasan tanpa tetes air mata walau hatinya hancur. Diraihnya tangan Alan,
dan diciumnya punggung tangannya.
"Bunda, jika Bunda dan Fachry saling mencintai, Ayah
ikhlas..." Alan membelai rambut Dyah yang jatuh tergerai.
"Gak Yah... Ayah salah. Cinta ini hanya kepada Ayah,
walaupun hancur sudah... Aku dan Fachry, bukan cinta namanya. Hanya nafsu yang
timbul menjadi zinah dan dosa,"
Alan tak tahu lagi harus berkata apa. Cintanya kepada Dyah
sudah lama luntur, tetapi masih ada rasa sayang untuk Ibu dari kedua putrinya
ini.
"Biar Aku yang urus perceraian kita Yah," Dyah
mengangguk mantap. Dyah cukup yakin, inilah persembahan terbaik darinya
untuk menebus kesalahannya sebagai istri yang tak berbakti.
Alan memeluk Dyah, "Bunda, mungkin kita tak dapat
hidup bersama sampai hari tua sebagai suami istri. Tapi, kita tetap bersaudara,
kita tetap bersama sampai hari tua untuk melihat kedua putri kita tumbuh
dewasa, dan kita siap melepasnya untuk berbakti pada suami dan
keluarganya..."
***
Alan telah memilih dengan siapa Ia akan menghabiskan
hari-harinya, Ambar, sang istri yang berbakti dalam kesederhanaan. Bersama
Dyah, persaudaraan terjalin dengan hangat. Tak hanya curahan kasih sayang dari
sepasang orang tua yang diperoleh Nabil, Nissa, Ayu, dan Bagus, tetapi begitu
meluapnya kasih sayang dua Bunda dan seorang Ayah, walau ikatan mereka tak lagi
sama.
0 komentar:
Post a Comment