Kamis ini, jalanan
begitu lengang. Tanggal merah benar mampu mengubah wajah jalanan ibukota menjadi begitu sepi.
Senyap ini pula membuatku gampang melamun di perjalanan menuju tempat kerja.
Ada hal yang sepertinya menyita perhatian. Memang mendung telah memeluku sejak
semalam. Kemarin pulang kerja lebih
awal. Niatnya sih ingin tidur panjang.
Tapi sayang,
mata siletku enggan terpejam. Alih-alih
tidur, pikiranku justru terpelanting ribuan kilometer ke kampung halaman. Kupikir, selama ini sudah
berhasil memeram rindu. Membunuhnya atau menguburnya dalam. Nyatanya tidak.
Belakangan ini rasa rindu kembali membuncah dan mengalihkan seluruh perhatian.
Hingga membuat mata tidak tidur semalaman.Dan
pagi ini aku kuyu. Iya, tidak hanya kuyu, bahkan konsentrasiku kerap buyar di
jalanan.
Ada rindu bersemayam.
Enam tahun terakhir, gadis manis itu merebut hatiku. Diam-diam ia menyita perhatianku.
Sedari pertama, kucoba menyatakan rasa yang tidak biasa. Rasa itu tumbuh semasa
aku masih duduk di kelas 2 SMA--
sampai sekarang. Sayangnya keberanian menyatakan rasa tiada pernah membuahkan
hasil. Penolakan pertama tak membuat jera. Kedua, ketiga dan entah sudah
keberapa kalinya aku
menyatakan rasaku kepadanya. Tapi
Jawabannya tetap sama, “Aku masih ingin
konsentrasi sekolah dan tidak memikirkan hal itu dulu”. Intinya ia menolak.
Dengan dalih konsentrasi sekolah itulah ia memaksaku mengerti. lalu sadar dan
segera mengurungkan
niat menjadi kekasihnya. Dengan bahasa
sesantun itu,aku
bisa memahaminya. Tapi
pilihan tutur lembut yang ia pakai, justru makin membumbungkan beni h cinta di hatiku.
“Zhar… apa kamu sudah punya yang lain?”.
“Yang
lain apa? Maksudnya?”.
“Ya,
yang lain, pacar, pasangan..”.
“Aku belum memikirkan hal itu. Aku ingin fokus
kuliah dulu”.
Percakapan di tahun
keenam itu masih sama seperti pertama kali aku menyatakan rasa itu kepadanya. Memang
sesekali dia begitu welcome kepadaku. tak jarang ia curhat, meminta motivasi, solusi dariku tentang hal yang
paling pribadi. Namun seketika ia bisa berubah membisu bagai tebing dinding air
terjun Niagara di Ontario. Ia pun bisa beku diam tanpa kata.
Rentetan jawaban
itu membawaku kembali kepada sebuah masa bersama gadis bermanik-manik Stoberi
****
Matahari telah tegak di
atas ubun-ubun. Keringat terus membanjiri tubuku. Biar pun angin berhembus
kencang, nyatanya
tak mampu menyejukan
hati yang terus gelisah. Sebab musababnya karena hari ini aku akan
bertemu dengan Zhara. kami
berencana hadir dalam undangan reuni SMA. Kami memang satu angkatan, bahkan
sewaktu kelas 2, kami satu kelas. Gadis
bermanik stroberi itu tipikal wanita pendiam, rajin, cerdas, juga santun.
Seakan-akan semua sifat baik melekat padanya. Karakter
itulah yang mampu menyihirku.
Darisanalah rasa itu tumbuh subur. Memang sebagai manusia tentu saja ada
kurangnya. Sama seperti diriku sendiri. Tapi kecantikan hati yang dimilikinya, mampu menutup semua kekurangan itu.
Zhara sukses membuatku jatuh hati.
“Kamu sudah datang?”. Dadaku berdegup dua kali lebih
ligat dari biasanya. Lama sekali tak berjumpa dengannya. Hari ini kupastikan gunung rindu itu
perlahan akan runtuh. Dengan sms
ini saja dadaku bergemuruh.
“Iya. Kamu dimana?”. Segera kubalas sambil menyebar
pandangan ke seluruh
ruangan. Mencari gadis dengan hijab
sederhana lengkap dengan bros manik-manik stroberinya.
Segala penjuru telah aku telisik, namun teropong sipit ini tak
menangkap sosok gadis yang
selalu tampil sederhana itu.
“Woeeeee…..!!!!..... Hayo… nyari siapa….!!... Zhara
belum datang…”. Tinya, sahabat terdekat zhara mengagetkanku.
“Apa sih… siapa yang nyari Zhara… sok tahu aja….”. Jawabaku bersungut antara kesal dan malu.
“Alah… ngaku aja…. Itu mukamu sampai merah gitu.
Tenang dia datang
kok. Cuman
agak telat”. Tinya sukses meledekku dengan jawaban santainya. Ia terus meracau
sambil mengunyah kacang yang digenggamnya.
“Lha emangnya kenapa telat? Kok nggak sama kamu,
biasanya kan kalian selalu jalan berdua?”.
“Motornya lagi dibawa kakaknya. Jadi dia
nunggu di rumah. Kamu
jemput dia dong. Masa cinta nggak mau modal sih..”.
Jleb. modal. Aku terdiam mendengar kalimat Tinya. Apa cinta itu harus bermodal? Apa
Zhara tak menerima cintaku
karena aku miskin. Apa iya? Masa
sih, tidak mungkin. tapi...? suara hatiku mencuat riuh rendah.
Aku percaya Tinya,
sahabat Zhara
sejak SMP itu--
tidak asal jeplak aja. Tapi pasti punya dasar yang kuat dan alasan logis.
Kanyakinanku ini juga bukan tanpa dasar. Tinya juga sahabat dekatku. Bahkan dia
adalah sahabat wanita terdekatku di SMA. Tentang kegiatan Zhara pun, lebih
banyak kuketahui darinya. Zhara tipikal wanita tertutup dan tidak banyak cerita
tentang masalah pribadinya. Hanya kepada Tinyalah ia bercerita dan sesekali
kepadaku.
Kalimat Tinya sontak membuat hatiku terasa
tercabik. Sekalipun tak kupercayai sepenuhnya. Karena tak terbesit seorang Zhara yang matre.
Tapi tetap saja kepikiran. Kalimat Tinya bagai ombak yang siap menggulung
paru-paru. Sesak rasanya dada ini. Ditambah suasana yang mulai ramai, membuat gerah dalam ruangan tanpa AC.
Kaki memeta menuju taman kecil di depan kelas 2 IPA.
Inilah ruang kelasku dan Zhara.
Bunga-bunga ini adalah bunga yang aku tanam bersamanya, juga teman-teman yang
lain. Aku menyukai tanaman karena bisa menyegarkan suasana. Dari kebersamaan itu pula aku tahu ternyata Zhara penyuka
Stroberi. Hal itu makin tampak dengan aksesoris yang menghiasi hijabnya. Bros
stroberinya, manik-manik tasnya, dan aksesoris lain yang tertempel di barang
pribadinya. Oh ya satu lagi yang aku tahu, parfum. Zhara menyukai parfum dengan
aroma stroberi. Pernah aku mencandainya kalau aroma yang ia bawa mirip permen. Haft.. aku tersenyum
kecil. Taman
ini seperti mengajakku bernostalgia bersama kenangan 6 tahun silam. Saat kami
duduk sharing pelajaran di
rerumputan. Di kantin sekolah, dan saat menjumpainya jalan dengan teman laki-lakiku ketika bazar buku.
Aku duduk sendirian di
bangku taman dengan mengayunkan kaki-kaki. Menendang-nendang angin.
Membolak-balikan rasa antara kenyatan
dan Zhara. mengaduk
perasaan sendiri. Ada kesal, marah, sedih kecewa yang kini terasa
meletup-letup.
Bunga-bunga ditaman pun mentapa haru. Pasti mereka tahu apa yang aku rasakan kini.
Mereka bersaksi. Sedari bibit yang tertanam kini merimbun sudah.
Tapi rasa Zhara
seperti mati, dan aku pun kerdil dengan hatiku sendiri.
***
“Aku sudah di gapura sekolah nih, jemput ya”. Sms
Zhara mencerahkan suasana hatiku yang mendung. Dan bunga ditaman itu pun ikut
tersenyum. Tanpa komando,
kakiku melaju. Tak ingin membuatnya menunggu di sana lebih lama. Sekiranya jarakku kini
tersisa 200 m lagi.
Rasanya kian dekat. Puluhan kilometer yang
kupenggal dengan berangkat pagi dari rumah. Dari jarak ini bisa kusaksikan
jilbabnya berkibar-kibar. Detak jantungu mulai tak beraturan lagi. Seakan lupa
kalimat
Tinya dan galauku. Berusaha tampil segagah mungkin menjemputnya. Dengan terpaan
angin musim panas, celana bahan dan rambut poniku berkibar-kibar. Jalanan lurus
menuju gapura sekolah, bak
karpet merah bertabur bunga.
Derap langkahku menuju cinta bertepuk sebelah tangan nampak romantis bila
diadegankan dalam film dengan slow motion.
Tinggal 10 m lagi. Ya
kira-kira segitu. Sebab sudah terlihat
senyuman gadis yang bersahabat itu. Hidung jambu airku mengendus parfum stroberinya. Tangannya menentang
tas kulit coklat dengan manik-manik
stroberi yang berkilauan membiaskan cahaya dari langit. Jilbab yang ia kenakan sederhana saja. Bahkan
ia hanya memakai kaos lengan panjang. Ya begitulah cara dia berdandan sejak
dulu. Simple, tanpa bedak dan gincu.
Kontras dengan teman-temannya yang mungkin justru dandan lebih lama ketimbang
acara itu sendiri.
“Panas ya?”. Tanyaku sambil meremas-remas jari
“Ya lumayanlah. Sudah ramai ya?”. Tanyanya sambil
mengayun-ayun tasnya.
“Ya.Sudah
daritadi pagi aku di sini. Takut telat”. Tak mau kalah, kini jemari asik
melipat yang basah oleh keringat. Punggung rasanya sudah teraliri keringat yang menganak sungai. Kening,
hindung, telah bersembulan keringat. Sumpah… deg-degan banget.
“Ha.?
Apa..?... maksudnya…?”. Ia
memburuku dengan Tanya.
Boom.
“Apa? Salah ya. Emang tadi nanya apaan?”. Duh…!!! Malunya aku. Salah menjawab.
Begini nih kalau sedang
bersamanya. Ada saja yang salah. Konsentrasi pasti buyar, tak mengerti harus berbuat apa,
mengatakan apa dan harus bagaimana.
“Biasa saja kenapa, nggak usah gugup gitu”. Haduh ya
Allah…. Mati gaya aku. Panas dingin menyatu di wajahku. Aku tarik nafas panjang agar lebih tenang. Meski tak
memberi banyak perubahan sebenarnya.
“Maaf..heheh”. Aku menunduk malu dengan perasaan berkecamuk.
***
Seandainya
kamu tahu Zhara,
hanya denganmu aku seperti ini. Bukankah kamu sendiri tahu aku paling percaya
diri tampil di depan umum sebagai seorang mc, moderator, actor teater, pemimpin organisasi --yang hampir selalu punya bahan untuk bicara.
Tapi lihatlah, bahkan untuk menjawab
pertanyaan sederhanamu saja aku kehilangan keberanian dan kalimat.
Lama kami terdiam. Ada
kalau 10 menit. Tanpa tutur,
tanpa melakukan apapun. Zhara,
entah sibuk apa dia, tak berani memandangnya. Sedang aku sendiri memainkan
batu kerikil diujung sepatu. Mencabuti rumput, memetik daun rambutan diatara jemari. Apa saja yang penting bisa mengurangi
gerogi
ketika bersamanya.
“Ngapain kita disini? Masuk yuk ngumpul dengan
temen-temen”. Sepersepuluh detik aku baru mengiyakannya.
“yuk”. Aku
melaju satu langkah tertinggal
darinya. Langkahnya begitu teratur.
Sejujurnya, ingin aku berjalan berdampingan. meng gapai tangan kanannya kupegang dengan tangan kiriku,
berjalan bergandengan. Tapi setelah selangkah kupercepat lajuku, aku ragu, tak berani. Gimana kalau dia menolak?… aku urungkan lagi. Niatkan lagi,
coba lagi, dan aku tetap tak berhasil sampai langkah terakhir kami di bibir ruangan.
“Cie Zhara....kok
barengan sama Elang.. kalian jadian ya?”. Sergah salah seorang teman perempuan.
Pipiku mendadak hangat. Betapa daun telinga ini berharap jawaban ‘Iya, kami
jadian’. Sayang sederet kata itu terbang dan hilang bersama angin yang
berhembus.
“Igh... apaan sih
kalian. Nggaklah”. Zhara tegas menyangkal. Dan itu seperti ketegasan pula atas
sikapnya kepadaku. Betapa jawaban itu menohok ulu hatiku. Setelah terdiam beberapa
saat, aku meninggalkan Zhara dan teman perempuan lainya, lantas menuju teman
laki-lakiku.
Sampai akhir acara selesai, tiada sesuatu yang berarti. Bahkan kepada teman
lelaki pun, aku banyak diam. Telah sempurna kegagalanku menyampaikan rasa karena signal yang begitu jelas.
Rambu-rambu penolakan kian memerah. Dan sepertinya hati Zhara tak pernah terbuka
sedikit pun untukku. Beban di hati semakin tertumpuk lantaran Tinya menceritakan ihwal
siapa saja lelaki yang mencoba mendekati Zhara. Ternyata tidak hanya aku saja, bahkan ada beberapa nama
lelaki kakak kelas, juga menambatkan hati kepada Zhara. Dan rata-rata mereka
jauh lebih tampan dan kaya dariku—logikanya aku tidak mungkin terpilih. Nyeseg
banget.
****
Badanku terasa remuk. Lengket oleh keringat dan capai berdiri berjam-jam
dalam bis kota. Tapi sesungguhnya bukan itu yang benar mampu menyedot seluruh
tenagaku. Pertemuan dengan Zhara kali
ini seperti menyematkan ribuan paku baja panas dalam hati. Munculnya beberpa
nama lelaki yang menaruh rasa padanya, sikap dingin serta acuh tak acuhnya,
benar-benar mampu melipat
paru-paruku. Berungkali kali aku mengelus dadai. Entah kenapa terasa begitu sesak dan sakit. Padahal
aku bukan penderita asma, paru-paru basah atau gangguan pernafasan lainnya.
Tanpa melepas sepatu, aku lemparkan tubuhku kekasur sekonyong-konyong.
Melempar tas semena-mena.
Bayangan wajah Zhara begitu kuat dimataku. Kutarik nafas
dalam-dalam dengan terpejam. Kuhempaskan kelangit-langit kamar. Ruangan ini
terasa sempit dan mulai berani mengejekku. kusambar tas dan bantal Stroberi
yang niatnya kuberikan kepada Zhara siang tadi. Tapi karena sikapnya, aku simpan
dan bawa pulang lagi. bantal stroberi, kuremas-remas benci lantas kulempar ke
keranjang pakaian kotor. Seakan dikamar
ini menggemakan suara,
“Sudahlah Elang, terima kenyataan”.
Arrrrggghh………!!!!!
Sesaat, hpku bergetar. Ada sms
masuk.
“Kenapa tak pamit
kalau mau pulang duluan?” Sms Zhara kepadaku.
“Kenapa aku harus
pamit, siapa lu siapa gue?”.
“kok gitu jawabnya?”.
“Lha kamu juga
gitukan jawabnya..!!, kenapa aku tak boleh jawab begitu..!!”.
“Jawaban apa??”.
“Masih
nanya jawaban apa…. Katanya mau fokus dulu kuliah, mau kerja, terus siapa itu
Riko, siapa itu Rendi, Afri?”.
Sederetan nama lelaki kusebut. nama-nama itu aku dapat
dari Tinya siang tadi. Aku meradang. Entah
kenapa aku jadi sensitiv dan marah kepadanya. Kesal , sedih, sakit... arhhh
sepertinya hati ini sudah jadi rumah setan. aku tutup wajahku dengan bantal.
Tapi sms Zhara berhasil mengalihkanku.
“Terus
kenapa dengan mereka? Aku tak ada apa-apa dengan mereka. Aku bukannya tak mau, atau tak bisa. Kita belum kenal
jauh, kamu belum mengerti bagaimana aku. Lagipula kamu juga masih kuliah, aku
juga. Kita fokus aja dulu. Selama ini aku tak menolakmu, hanya belum bisa menerima. Kamu percaya jodohkan? Semoga Allah
meridhoi”.
Dia memberondong sms, menjelaskan tentang hubungan dia dan laki-laki itu—termasuk kepadaku. Ah... tapi
sungguh rumit rasanya menerjemahkan kalimat ini. Hanya ada satu hal
yang aku tangkap. Dia bilang apa tadi,” tidak menolakku, tapi belum bisa terima”. Ah... masa iya. Aku
baca lagi sms itu. tapi iya benar kok, dia tidak menolakku. Hanya belum bisa
menerima. Seperti angin surga yang mengipasiku. Jawaban Zhara begitu menyejukan
hatiku. Tapi
amarah telah membakarku, sehingga kalimat ketus selalu lolos terketik untuk
dikirim
“Kenal yang seperti apalagi sih, Dear? Kita udah berteman lama kan?. Tapi,Iya, oke,
aku akan berusaha menjadi yang terbaik buatmu. Kamu tahu bagaimana aku. Oke,
aku akan kuliah sungguh-sungguh, lulus segera dan sukses. Aku tidak ingin
bahagia sendiri, tapi bahagia bersamamu”.
Ia tak menjawab. Aku merasa bersalah karena marah.
Sesaat kemudian,
sms dari Tinya juga memberondongku.
“Peluangmu itu
besar. Zhara itu tidak mau pacar-pacaran. Taaruf kenal, nikah itu. wajar jika
dia ingin pendamping hidupnya sudah sukses dan mapan. Dia tak mau mengalami
kegagalan seperti yang dialami kakaknya. Apalagi kamu tahu sendiri dia
hidup dengan ibu tiri. Dia takut kamu
tak bisa menerima dia apa adanya. Pokoknya
semangat, buktikan kepada Zhara kalau kamu serius dan bisa. Aku mendukungmu,
karena aku tahu siapa saja lelaki yang berusaha mendekati Zhara, bahkan mereka
tak segan memintaku menjadi mak comblangnya.tapi sebagai sahabat, aku tak mau Zhara
kecewa. Jadi aku berhak menyeleksi siapa saja yang boleh dekat sama Zhara.... kalau
kamu pingin lolos audisi ini, bawa gula 1 kg, sma beras kerumahku
SEGERA...!!wkwkwk...”
Sial.... masih aja
cengengesan. Tidak tahu apa aku hampir pingsan atas kejadian hari ini. Tapi
terima kasih Tyna, aku tahu kau adalah sahabatku.
Kini aku
pahami satu hal lagi tentang
Zhara, bahwa dia tak ingin buang-buang waktu untuk pacaran. Pinginnya langsung
menikah. Benar juga memang. Kadang pacaran lama, tak menjamin
berakhir di pelaminan. Banyak
contoh disekitarku hal semacam itu. Tapi, hubungan tanpa status seperti ini
membuatku khawatir kalau-kalau dia diambil orang.
Huft... pasrahlah.
Toh dia juga mengharap ridho-Nya. Demikian juga aku. Kalau berjodoh, besok juga
ketemu.
“Yang jelas aku
tetap mengharapakanmu, Zhar”.
Aku bangkit
mengambil bantal stroberi yang kulempar, meraih manik-manik stroberi di meja untukku peluk hingga tertidur.
“Met bobo
Zhara...”.
Aku akan berjuang,
untukmu, untukku dan untuk kita. Iya itu, tidak ada kamu, tidak ada aku, yang
ada hanya kita. aamiin
0 komentar:
Post a Comment