kumpulan cerita pendek terbaru
Hujan menyisakan embun di jendela kaca yang membatasi ruangan itu dengan taman. Seorang gadis menatap jalanan yang masih sunyi. Terbata-bata ia memutar roda kursinya.
Hujan menyisakan embun di jendela kaca yang membatasi ruangan itu dengan taman. Seorang gadis menatap jalanan yang masih sunyi. Terbata-bata ia memutar roda kursinya.
“Kamu
beruntung tinggal di negara dengan empat musim. Mencium aroma bunga-bunga aneka
rupa nan cantik di musim semi. Mencipta sosok snowman ala pematung profesional dengan bongkahan putih salju.
Dikelilingi oleh keluarga yang menyayangimu. Tidak seperti hidupku di kota panas berpolusi
macam Surabaya ini!”
Hana
tersenyum tipis menyusuri deretan kata di whatsapp
messengernya. Sepasang mata hazelnya
menatap iba sepasang kaki ringkihnya. Slide ingatannya diputar pada momen tak
terlupa bertahun-tahun silam.
kumpulan cerita pendek terbaru
∞∞∞
Prang..!!
Hana cilik yang duduk terpekur di tepian pembaringan terkesiap oleh bunyi mirip
vas bunga pecah.
“I can’t believe this. Watashi wa kare o
nikumu. She has given us much trouble!” Lelaki tampan bermata sipit berdagu
lancip itu mengumpat habis-habisan. Parasnya yang mengingatkan setiap orang
yang memandangnya pada tokoh-tokoh anime
Jepang—negeri di mana dia dilahirkan, terkikis
oleh amarah mendidih. Dia merutuki nasib putrinya yang tak henti menimpakan
kesulitan.
“Shikashi, kanojo wa anata no musumedesu! She
is your daughter! Your blood runs through her veins!” Seorang perempuan ayu
bermata lebar menangis terisak-isak tak
jauh dari posisi lelaki tadi. Ia tak terima sang putri menjadi satu-satunya
tertuduh, sedangkan kondisinya sekarang bisa jadi dipengaruhi gen ayahnya.
Hana
hanya bisa menangis dalam diam mendengar pertengkaran yang mulai klimaks.
“Kita
bercerai saja. Karirku kubangun dengan susah payah di Osaka ini. Aku tak
mungkin mengejar karir dan sekaligus merawat Hana. Gomen nasai.”
kumpulan cerita pendek terbaru
Lelaki
tampan itu pun melangkah keluar rumah. Di hari-hari berikutnya, ia hanya sekali
datang mengemasi seluruh barang dan tak pernah kembali lagi. Bahkan tidak untuk
sekadar menyapa sang putri, apalagi membingkiskan sebuah ucapan selamat
tinggal.
Gelap
seakan sempurna menyelubungi dunia Hana. Dalam ketidakberuntungan nasibnya,
kini ia harus menerima bahwa ayah kandungnya tak mampu memperjuangkannya. Sang
ayah menyingkirkan Hana dari peta kehidupannya. Tertatih ia menyeret langkahnya
yang tak sempurna.
“Ma-ma,”
terpatah kata yang keluar dari bibir Hana. Sang mama hanya mendekapnya erat
dalam kebisuan malam.
kumpulan cerita pendek terbaru
“Kita
akan pergi dari kota ini. Tak ada lagi guna kita bertahan di sini. Selain itu,
kita harus mencari tempat yang cocok untuk kondisimu, Sayang.” Sang mama semakin
mempererat dekapannya.
Dalam
dekapan sang mama, Hana menatap nanar lukisan sakura di dinding ruang tengah.
Ia tak akan lagi merasakan indahnya Hanami— festival mekarnya
sakura dalam hangatnya Haru musim
semi. Masa-masa indah bersama orang tuanya
menikmati Hanabi—festival kembang api di kala Natsu—musim panas menjelang, tinggallah
kenangan. Bahkan besar kemungkinan siang tadi adalah kali terakhir ia berteman
dengan mentari.
∞∞∞
Meilya menyalakan alunan musik K-Pop di file
laptop.
Ia lantas sambungkan ke pengeras suara di sampingnya dengan volume maksimal, menyumpal telinga dari cekcok mulut ayah ibunya yang nyaris tanpa jeda. Disekanya bulir bening yang mengalir tanpa bisa ia kendalikan lagi.
Ia menatap foto di meja kamarnya. Foto ketika dia masih
kanak-kanak, masa-masa emas kebahagiaan keluarganya. Sontak ia membanting foto lawas itu ke lantai hingga kaca yang melapisi hancur
berkeping-keping, sehancur hatinya semenjak tiga tahun ini. Meilya menyungkurkan kepala ke atas bantal ketupatnya.
Perlahan Meilya menyambungkan laptop hitam kesayangannya dengan koneksi internet. Benda ini yang selalu menemaninya, menjadi saksi tanpa
wicara atas apa yang ia rasakan. Usai
memastikan sambungan, ia membuka akun facebooknya. Empat pemberitahuan
tertera di layar. Ah, hanya like status tadi pagi.
Meilya menari-narikan jemarinya di atas keyboard,
di sinilah ia menuangkan uneg-uneg yang membuncah di hatinya.
“Aku muak! Di mana letak keadilan Allah? Tak pantaskah
aku bahagia? Aku menyesal terlahir
dari keluarga ini.” Tangannya
dengan terampil menekan tombol share.
∞∞∞
Hana menggelengkan kepala dan menarik napas
menatap kalimat dari sebuah update status. Selama satu pekan menjadi
kontaknya, Hana hapal betul bagaimana gadis
yang mengaku bernama Meilya ini mengobral keluhan-keluhan
seputar kehidupan pribadinya. Dari yang tersirat, gadis ini bermasalah dengan
ayah ibunya.
“Apa yang kau
dapat dengan mengeluh di facebook, Meilya?” Pertanyaan itu Hana kirimkan ke
kotak pesan.
Entah dari mana datangnya keberanian itu, padahal
Hana belum benar-benar berinteraksi
dengan Meilya. Ia tak bermaksud ikut campur urusan orang lain,
namun sebagai orang yang sempat menjumpai keluh kesah kontaknya, ia merasa
prihatin dan tergerak untuk menegur.
Bermula
dari pesan teguran halus tersebut, Hana dan Meilya kerap mengobrol. Obrolan
yang awalnya dingin, dilambari emosi Meilya, perlahan mencair. Mereka pun
saling bertukar kisah.
“Tinggal
di Forks?!” ulang Meilya. Ia terkesima sekaligus tergelitik tawa membaca
penuturan Hana. Gadis yang mengaku berdarah Jepang-Indonesia itu tinggal di
kota yang sama dengan para vampir dalam novel Twilight Saga. Apakah ini
sebuah lelucon? Tapi entah mengapa, intuisi Meilya mengatakan bahwa Hana
tak mengarang-ngarang cerita. Pun tentang foto diri yang diakui tak
dimilikinya. Satu-satunya foto yang dia punya adalah foto masa kecil.
“Boleh
kita bertukar foto, Hana?” pinta Meilya beberapa hari lalu. Perasaan nyaman
bersama Hana membangkitkan rasa penasarannya.
“Mengapa
tak pernah berfoto lagi setelah remaja?” tanya heran Meilya menatap sebuah foto
yang Hana kirimkan. Meilya sendiri, meski acapkali minder dengan penampilannya
yang dinilainya tak menarik, masih menyimpan beberapa file foto pribadi.
“Sudikah
kau kuberi tahu sebuah rahasia?”
Meilya
terhenyak. Rahasia apa yang mungkin dimiliki teman barunya ini?
“Aku
mengidap Xeroderma pigmentosum,
sebuah penyakit genetik yang ditandai dengan sensitivitas yang luar biasa terhadap
sinar matahari sehingga menyebabkan perkembangan kanker kulit pada usia dini. Anak-anak
penderita XP hanya bisa bermain di luar dengan aman setelah malam tiba.”
Meilya
mengucek-ngucek kedua matanya. Ia terpana membaca pengakuan Hana. Terngiang
kembali makiannya pada Hana di awal tegur sapa mereka.
“Hah! Kamu tidak usah sok bijaksana deh.
Mungkin hidupmu sudah terlampau sempurna sehingga menghakimiku sedemikian rupa.
Kamu tidak
tahu rasanya hidup seatap dengan dua orang dewasa yang seakan bertengkar
menjadi makanan pembuka, utama, dan penutup setiap harinya.”
Getir sanggahan Meilya menggelontor begitu saja kala itu.
“Lantas,
bagaimana kondisimu sekarang?” tanya Meilya beberapa jam kemudian, seiring
intensnya percakapan mereka hari itu.
“Aku
hidup bahagia, kok. Ayah tiriku mau menerimaku apa adanya. Dia tak bisa punya
anak, sehingga menyayangiku laiknya putri kandung.”
“Hana,
maafkan aku. Dulu aku dengan piciknya menyebutmu sok bijaksana.”
Sebuah emoticon senyuman muncul. Hana sudah
memaafkannya.
∞∞∞
Miris,
situasi rumah Meilya tiada menampakkan warna baru. Tabiat sang ayah yang doyan
bermain perempuan dan melalaikan keluarga, tak lekang menuai protes dan amukan
dari Ibunda Meilya.
“Jangan
pernah pulang lagi kemari sebelum kamu
akhiri perselingkuhanmu!” Brakk...! Suara
meninggi Ibu dibalas dengan bantingan pintu oleh Ayah.
Kalimat
sang ibu justru memacu keinginan Meilya
untuk berhijrah sementara ke Forks,
kota sendu sepanjang tahun tersebab mendung yang menggelayut dan hujan yang
memandikan alamnya, di mana teman baiknya menetap.
“Uang
tabungan dan uang bonus ulang tahun ke-17 lebih dari cukup untuk membeli tiket
pesawat pulang-pergi,” gumam Meilya.
Seusai
persiapan keberangkatan yang matang, Meilya menarik koper seraya menoleh pada
rumah petakanya.
“Kita
lihat saja. Apakah Ayah Ibu
tak kehilanganku?”
Setelah berjam-jam berada di pesawat dengan
perasaan campur aduk, akhirnya Meilya
mendarat di Port Angeles. Gerimis
menjingkat-jingkatkan kaki-kakinya ke bumi menyambut kedatangan Meilya di
negeri asing. Ia menghidu tanah basah dan rendahnya suhu
udara yang menggigit hingga ke tulang. Sekeluarnya dari pintu
kedatangan, Meilya mengedarkan
pandangan ke arah papan-papan yang diacungkan
oleh banyak penjemput. Meilya mencari papan bertuliskan namanya. Kedua pupil mata Meilya
membesar menatap sesosok lelaki tinggi besar bermuka ramah.
“Are you Meilya?”
“Good afternoon,
Sir. Yes, I’m Meilya.”
Setelah mengenalkan diri sebagai Frank, sopir biro perjalanan yang disewa
Hana, lelaki yang mengenakan
kaos berkerah itu menenteng koper
Meilya ke bagasi mobil minibus di luar bandara.
“You
may sleep for a while. You must be tired,” ucap Frank sembari melirik kaca
spion. Sang sopir berambut cokelat terang itu seakan tahu penumpangnya
kedinginan sekaligus menderita jetlag.
Meilya tersenyum dan mengangguk. Mobil memasuki jalanan
dengan pepohonan di kanan kirinya.
Pemanas di dalam mobil mengurangi
sedikit ketakutan dan keasingannya akan alam sepanjang perjalanan.
Sebuah plang bertuliskan “The City of Forks Welcomes You” menyita perhatiannya. Jantungnya
berdetak lebih kencang. Terbayang pelukan hangat dari Hana ketika
sekonyong-konyong sebuah truk pengangkut gelondongan kayu muncul dan sekejap
kemudian bunyi hantaman dahsyat membunuh angan Meilya.
∞∞∞
“Lya,
Lya... Apa kamu ingat Ibu dan Ayah?” cecar Ibunda Meilya kala mendapati
putrinya membuka mata disertai gerakan halus jemari tangannya.
“Di
mana aku?” Meilya memerhatikan sekelilingnya. Sebuah kamar asing. Tubuhnya terbaring
di ranjang. Kaku, ngilu.
“Lima
hari lalu kamu mengalami kecelakaan. Syukurlah kamu mampu melewati masa kritis
dan sadar kembali sekarang,” ungkap sang ibu sambil berkaca-kaca, menahan
terjangan bulir bening dari sudut mata.
“Ha-na...”
“Hana
pulang, Sayang. Dua hari kemarin dia bersikeras menungguimu di Forks Community Hospital ini. Kondisinya
drop dan dipaksa pulang oleh
mamanya.”
Meilya
mendesah. “Ya Allah, apakah ini hukumanMu karena minggat dari rumah? Tapi jangan
kau biarkan Hana sakit, ya Allah. Dia tidak bersalah,” rintih Meilya dalam
hati.
Mendadak
Meilya teringat akan kewajiban shalat yang sempat dia tinggalkan dalam
perjalanannya menuju Forks.
“Ibu,
aku ingin shalat. Aku hendak memohon ampun pada Allah.”
Ibunda
Meilya tercekat. Lekas ia mengubek-ubek
tas bawaannya. Beruntung dia selalu membawa mukena khusus untuk bepergian. Ia
pakaikan secara perlahan bagian atasnya ke kepala Meilya setelah sebelumnya
menuntun anaknya bertayammum.
Ibunda
Meilya tak sanggup lagi menahan tangis. Ia menghambur keluar ketika Meilya
menunaikan shalat.
kumpulan cerita pendek terbaru
“Bu,
maafkan Ayah.” Sebuah bisikan dibarengi sentuhan halus di pundak melerai tangis
Ibu Meilya.
Keesokan
harinya, tak diduga, Hana berkunjung dengan kursi rodanya. Bintik-bintik gelap
merata di sekujur tubuhnya, termasuk wajah, gagal disembunyikan di bawah
pakaian panjang berlapis. Ini melukiskan kondisi Hana yang sebenarnya sedang
tidak sehat. Hana datang di saat Meilya masih shalat.
“Hana,
kau datang. Maaf, aku tak bisa menghampirimu seperti yang kuimpikan selama
ini.” Linangan air mata menderas ketika kedua gadis itu bercakap.
“Kita
sudah berjumpa sekarang, tak ada yang perlu dimaafkan.”
Hening.
Semua orang dalam ruangan membisu. Tiba-tiba, Meilya merintih kesakitan. Ia
memegangi kepalanya. Sontak keempat orang dewasa di kamar itu panik.
Beberapa
jam kemudian, Ibunda Meilya menangis meraung-raung. Ia syok. Buah cintanya
mengembuskan napas terakhir di depan mata. Agaknya permintaan shalat kemarin
adalah sebuah pertanda.
∞∞∞
Tujuh
purnama telah berganti. Di sebuah Islamic centre di Seattle, kota tetangga
Forks, tampak tiga orang tengah menadahkan tangan pada Rabb mereka.
“Alhamdulillah. Welcome, my brother and sisters. May Allah give us strength to pace
this right path.” Sebuah ucapan selamat dan doa penuh keharuan meluncur
dari bibir seorang ustadz muda berpeci putih.
Hana,
Mama, dan Papa tirinya tersenyum lebar. Jantung mereka seakan hendak meledak,
tak kuasa menampung buncah kebahagiaan usai pengikraran syahadatain.
kumpulan cerita pendek terbaru