kumpulan cerpen : cerita pendek terbaru, kumpulan puisi, novel, serta hal-hal menarik yang terjadi disekitar kita.....

Cerita pendek : Manik-manik stroberi


Kamis ini, jalanan begitu lengang. Tanggal merah benar mampu mengubah  wajah jalanan ibukota menjadi begitu sepi. Senyap ini pula membuatku gampang melamun di perjalanan menuju tempat kerja. Ada hal yang sepertinya menyita perhatian. Memang mendung telah memeluku sejak semalam. Kemarin  pulang kerja lebih awal.  Niatnya sih ingin tidur panjang. Tapi sayang, mata siletku enggan terpejam.  Alih-alih tidur, pikiranku justru terpelanting  ribuan kilometer ke kampung halaman. Kupikir, selama ini sudah berhasil memeram rindu. Membunuhnya atau menguburnya dalam. Nyatanya tidak. Belakangan ini rasa rindu kembali membuncah dan mengalihkan seluruh perhatian. Hingga membuat mata tidak tidur semalaman.Dan pagi ini aku kuyu. Iya, tidak hanya kuyu, bahkan konsentrasiku kerap buyar di jalanan.

Ada rindu bersemayam. Enam tahun terakhir, gadis manis itu merebut hatiku. Diam-diam ia menyita perhatianku. Sedari pertama, kucoba menyatakan rasa yang tidak biasa. Rasa itu tumbuh semasa aku masih duduk di kelas 2 SMA-- sampai sekarang. Sayangnya keberanian menyatakan rasa tiada pernah membuahkan hasil. Penolakan pertama tak membuat jera. Kedua, ketiga dan entah sudah keberapa  kalinya  aku menyatakan rasaku kepadanya. Tapi  Jawabannya tetap sama, “Aku masih ingin konsentrasi sekolah dan tidak memikirkan hal itu dulu”. Intinya ia menolak. Dengan dalih konsentrasi sekolah itulah ia memaksaku mengerti. lalu  sadar dan segera mengurungkan niat menjadi kekasihnya. Dengan bahasa sesantun itu,aku bisa memahaminya. Tapi pilihan tutur lembut yang ia pakai, justru makin membumbungkan beni h  cinta di hatiku. 

“Zhar… apa kamu sudah punya yang lain?”.

Yang lain apa? Maksudnya?”.

Ya, yang lain, pacar, pasangan..”.

“Aku belum memikirkan hal itu. Aku ingin fokus kuliah dulu”.

Percakapan di tahun keenam itu masih sama seperti pertama kali aku menyatakan rasa itu kepadanya. Memang sesekali dia begitu welcome kepadaku. tak jarang ia curhat, meminta motivasi, solusi dariku tentang hal yang paling pribadi. Namun seketika ia bisa berubah membisu bagai tebing dinding air terjun Niagara di Ontario. Ia pun bisa beku diam tanpa kata. 

Rentetan jawaban itu membawaku kembali kepada sebuah masa bersama gadis bermanik-manik Stoberi

****

Matahari telah tegak di atas ubun-ubun. Keringat terus membanjiri tubuku. Biar pun angin berhembus kencang, nyatanya tak mampu menyejukan hati  yang terus gelisah. Sebab musababnya karena hari ini aku akan bertemu dengan Zhara. kami berencana hadir dalam undangan reuni SMA. Kami memang satu angkatan, bahkan sewaktu kelas 2, kami satu kelas.  Gadis bermanik stroberi itu tipikal wanita pendiam, rajin, cerdas, juga santun. Seakan-akan semua sifat baik melekat padanya. Karakter itulah yang mampu menyihirku. Darisanalah rasa itu tumbuh subur.  Memang sebagai manusia tentu saja ada kurangnya. Sama seperti diriku sendiri. Tapi kecantikan hati yang dimilikinya, mampu menutup semua kekurangan itu. Zhara sukses membuatku jatuh hati.

“Kamu sudah datang?”. Dadaku berdegup dua kali lebih ligat dari biasanya. Lama sekali tak berjumpa dengannya. Hari ini kupastikan gunung rindu itu perlahan akan runtuh. Dengan sms ini saja dadaku bergemuruh.

“Iya. Kamu dimana?”. Segera kubalas sambil menyebar pandangan ke seluruh ruangan. Mencari gadis dengan hijab sederhana lengkap dengan bros manik-manik stroberinya. Segala penjuru telah aku telisik, namun teropong sipit ini tak menangkap sosok gadis yang selalu tampil sederhana itu.

“Woeeeee…..!!!!..... Hayo… nyari siapa….!!... Zhara belum datang…”. Tinya, sahabat terdekat zhara mengagetkanku.

“Apa sih… siapa yang nyari Zhara… sok tahu  aja….”. Jawabaku bersungut antara kesal dan malu.

“Alah… ngaku aja…. Itu mukamu sampai merah gitu. Tenang dia datang kok. Cuman agak telat”. Tinya sukses meledekku dengan jawaban santainya. Ia terus meracau sambil mengunyah kacang yang digenggamnya. 

“Lha emangnya kenapa telat? Kok nggak sama kamu, biasanya kan kalian selalu jalan berdua?”.

Motornya lagi dibawa kakaknya. Jadi dia nunggu di rumah. Kamu jemput dia dong. Masa cinta nggak mau modal sih..”.

Jleb. modal. Aku terdiam mendengar kalimat Tinya. Apa cinta itu harus bermodal? Apa Zhara tak menerima cintaku karena aku miskin. Apa iya? Masa sih, tidak mungkin. tapi...? suara hatiku mencuat riuh rendah. Aku percaya Tinya, sahabat Zhara sejak SMP itu-- tidak asal jeplak aja. Tapi pasti punya dasar yang kuat dan alasan logis. Kanyakinanku ini juga bukan tanpa dasar. Tinya juga sahabat dekatku. Bahkan dia adalah sahabat wanita terdekatku di SMA. Tentang kegiatan Zhara pun, lebih banyak kuketahui darinya. Zhara tipikal wanita tertutup dan tidak banyak cerita tentang masalah pribadinya. Hanya kepada Tinyalah ia bercerita dan sesekali kepadaku.

Kalimat Tinya sontak membuat hatiku terasa tercabik. Sekalipun tak kupercayai sepenuhnya. Karena tak terbesit seorang Zhara yang matre. Tapi tetap saja kepikiran. Kalimat Tinya bagai ombak yang siap menggulung paru-paru. Sesak rasanya dada ini. Ditambah suasana yang mulai ramai, membuat gerah dalam ruangan tanpa AC. 

 Kaki memeta menuju taman kecil di depan kelas 2 IPA. Inilah ruang kelasku dan Zhara. Bunga-bunga ini adalah bunga yang aku tanam bersamanya, juga teman-teman yang lain. Aku menyukai tanaman karena bisa menyegarkan suasana. Dari kebersamaan itu pula aku tahu ternyata Zhara penyuka Stroberi. Hal itu makin tampak dengan aksesoris yang menghiasi hijabnya. Bros stroberinya, manik-manik tasnya, dan aksesoris lain yang tertempel di barang pribadinya. Oh ya satu lagi yang aku tahu, parfum. Zhara menyukai parfum dengan aroma stroberi. Pernah aku mencandainya kalau aroma yang ia bawa mirip permen. Haft.. aku tersenyum kecil. Taman ini seperti mengajakku bernostalgia bersama kenangan 6 tahun silam. Saat kami duduk sharing pelajaran di rerumputan. Di kantin sekolah, dan saat menjumpainya jalan dengan teman laki-lakiku ketika bazar buku. 

Aku duduk sendirian di bangku taman dengan mengayunkan kaki-kaki. Menendang-nendang angin. Membolak-balikan  rasa antara kenyatan dan Zhara. mengaduk perasaan sendiri. Ada kesal, marah, sedih kecewa yang kini terasa meletup-letup.
Bunga-bunga ditaman pun mentapa haru. Pasti mereka tahu apa yang aku rasakan kini. Mereka bersaksi. Sedari bibit yang tertanam kini merimbun sudah. Tapi rasa Zhara seperti mati, dan aku pun kerdil dengan hatiku sendiri. 

***

“Aku sudah di gapura sekolah nih, jemput ya”. Sms Zhara mencerahkan suasana hatiku yang mendung. Dan bunga ditaman itu pun ikut tersenyum. Tanpa komando, kakiku melaju. Tak ingin membuatnya menunggu di sana lebih lama. Sekiranya jarakku kini tersisa 200 m lagi. Rasanya kian dekat. Puluhan kilometer yang kupenggal dengan berangkat pagi dari rumah. Dari jarak ini bisa kusaksikan jilbabnya berkibar-kibar. Detak jantungu mulai tak beraturan lagi. Seakan lupa kalimat Tinya dan galauku. Berusaha tampil segagah mungkin menjemputnya. Dengan terpaan angin musim panas, celana bahan dan rambut poniku berkibar-kibar. Jalanan lurus menuju gapura sekolah, bak karpet merah bertabur bunga. Derap langkahku menuju cinta bertepuk sebelah tangan nampak romantis bila diadegankan dalam film dengan slow motion.

Tinggal 10 m lagi. Ya kira-kira segitu. Sebab sudah terlihat senyuman gadis yang bersahabat itu. Hidung jambu airku mengendus parfum stroberinya. Tangannya menentang tas kulit coklat dengan manik-manik stroberi yang berkilauan membiaskan cahaya dari langit. Jilbab yang ia kenakan sederhana saja. Bahkan ia hanya memakai kaos lengan panjang. Ya begitulah cara dia berdandan sejak dulu. Simple, tanpa bedak dan gincu. Kontras dengan teman-temannya yang mungkin justru dandan lebih lama ketimbang acara itu sendiri.

“Panas ya?”. Tanyaku sambil meremas-remas jari

“Ya lumayanlah. Sudah ramai ya?”. Tanyanya sambil mengayun-ayun tasnya.

“Ya.Sudah daritadi pagi aku di sini. Takut telat”. Tak mau kalah, kini jemari asik melipat yang basah oleh keringat. Punggung rasanya sudah teraliri keringat yang menganak sungai. Kening, hindung, telah bersembulan keringat. Sumpah… deg-degan banget.

Ha.? Apa..?... maksudnya…?”. Ia memburuku dengan Tanya.
Boom. “Apa? Salah ya. Emang tadi nanya apaan?”. Duh…!!! Malunya aku. Salah menjawab. Begini nih kalau sedang bersamanya. Ada saja yang salah. Konsentrasi pasti buyar, tak mengerti harus berbuat apa, mengatakan apa dan harus bagaimana.
“Biasa saja kenapa, nggak usah gugup gitu”. Haduh ya Allah…. Mati gaya aku. Panas dingin menyatu di wajahku. Aku tarik nafas panjang agar lebih tenang. Meski tak memberi banyak perubahan sebenarnya.
Maaf..heheh”. Aku menunduk malu dengan perasaan berkecamuk.

***
            Seandainya kamu tahu Zhara, hanya denganmu aku seperti ini. Bukankah kamu sendiri tahu aku paling percaya diri tampil di depan umum sebagai seorang mc, moderator, actor teater, pemimpin organisasi --yang hampir selalu punya bahan untuk bicara. Tapi lihatlah, bahkan untuk menjawab  pertanyaan sederhanamu saja aku kehilangan keberanian dan kalimat. 

Lama kami terdiam. Ada kalau 10 menit. Tanpa tutur, tanpa melakukan apapun. Zhara, entah sibuk apa dia,  tak berani  memandangnya. Sedang aku sendiri memainkan batu kerikil diujung sepatu. Mencabuti rumput, memetik daun rambutan diatara jemari. Apa saja yang penting bisa mengurangi gerogi ketika bersamanya.

“Ngapain kita disini? Masuk yuk ngumpul dengan temen-temen”. Sepersepuluh detik aku baru mengiyakannya.

“yuk”. Aku melaju satu langkah tertinggal darinya. Langkahnya begitu teratur.
Sejujurnya, ingin aku berjalan berdampingan.  meng gapai tangan kanannya kupegang dengan tangan kiriku, berjalan bergandengan. Tapi setelah selangkah kupercepat lajuku, aku ragu, tak berani. Gimana kalau dia menolak?… aku urungkan lagi. Niatkan lagi, coba lagi, dan aku tetap tak berhasil sampai langkah terakhir kami di bibir ruangan.

“Cie Zhara....kok barengan sama Elang.. kalian jadian ya?”. Sergah salah seorang teman perempuan. Pipiku mendadak hangat. Betapa daun telinga ini berharap jawaban ‘Iya, kami jadian’. Sayang sederet kata itu terbang dan hilang bersama angin yang berhembus.

“Igh... apaan sih kalian. Nggaklah”. Zhara tegas menyangkal. Dan itu seperti ketegasan pula atas sikapnya kepadaku. Betapa jawaban itu menohok ulu hatiku. Setelah terdiam beberapa saat, aku meninggalkan Zhara dan teman perempuan lainya, lantas menuju teman laki-lakiku. 

Sampai akhir acara selesai, tiada sesuatu yang berarti. Bahkan kepada teman lelaki pun, aku banyak diam. Telah sempurna kegagalanku menyampaikan rasa karena signal yang begitu jelas. Rambu-rambu penolakan kian memerah.  Dan sepertinya hati Zhara tak pernah terbuka sedikit pun untukku. Beban di hati semakin tertumpuk lantaran Tinya menceritakan ihwal siapa saja lelaki yang mencoba mendekati Zhara. Ternyata tidak hanya aku saja, bahkan ada beberapa nama lelaki kakak kelas, juga menambatkan hati kepada Zhara. Dan rata-rata mereka jauh lebih tampan dan kaya dariku—logikanya aku tidak mungkin terpilih. Nyeseg banget.

****

Badanku terasa remuk. Lengket oleh keringat dan capai berdiri berjam-jam dalam bis kota. Tapi sesungguhnya bukan itu yang benar mampu menyedot seluruh tenagaku.  Pertemuan dengan Zhara kali ini seperti menyematkan ribuan paku baja panas dalam hati. Munculnya beberpa nama lelaki yang menaruh rasa padanya, sikap dingin serta acuh tak acuhnya,  benar-benar mampu melipat paru-paruku. Berungkali kali aku mengelus dadai. Entah kenapa terasa begitu sesak dan sakit. Padahal aku bukan penderita asma, paru-paru basah atau gangguan pernafasan lainnya. 

Tanpa melepas sepatu, aku lemparkan tubuhku kekasur sekonyong-konyong. Melempar tas semena-mena. Bayangan wajah Zhara begitu kuat dimataku. Kutarik nafas dalam-dalam dengan terpejam. Kuhempaskan kelangit-langit kamar. Ruangan ini terasa sempit dan mulai berani mengejekku. kusambar tas dan bantal Stroberi yang niatnya kuberikan kepada Zhara siang tadi. Tapi karena sikapnya, aku simpan dan bawa pulang lagi. bantal stroberi, kuremas-remas benci lantas kulempar ke keranjang pakaian kotor.  Seakan dikamar ini menggemakan suara,

“Sudahlah Elang, terima kenyataan”. 

Arrrrggghh………!!!!!

 Sesaat, hpku bergetar. Ada sms masuk.

“Kenapa tak pamit kalau mau pulang duluan?” Sms Zhara kepadaku. 

“Kenapa aku harus pamit, siapa lu siapa gue?”.

“kok gitu jawabnya?”.

“Lha kamu juga gitukan jawabnya..!!, kenapa aku tak boleh jawab begitu..!!”.

“Jawaban apa??”. 

Masih nanya jawaban apa…. Katanya mau fokus dulu kuliah, mau kerja, terus siapa itu Riko, siapa itu Rendi, Afri?”. Sederetan nama lelaki kusebut.  nama-nama itu aku dapat dari Tinya siang tadi. Aku meradang. Entah kenapa aku jadi sensitiv dan marah kepadanya. Kesal , sedih, sakit... arhhh sepertinya hati ini sudah jadi rumah setan. aku tutup wajahku dengan bantal. Tapi sms Zhara berhasil mengalihkanku.

“Terus kenapa dengan mereka? Aku tak ada apa-apa dengan mereka. Aku bukannya tak mau, atau tak bisa. Kita belum kenal jauh, kamu belum mengerti bagaimana aku. Lagipula kamu juga masih kuliah, aku juga. Kita fokus aja dulu. Selama ini aku tak menolakmu, hanya belum bisa menerima. Kamu percaya jodohkan? Semoga Allah meridhoi”.

Dia memberondong sms,  menjelaskan tentang hubungan dia dan laki-laki itu—termasuk kepadaku. Ah... tapi sungguh rumit rasanya menerjemahkan kalimat ini. Hanya  ada satu hal yang aku tangkap. Dia bilang apa tadi,” tidak menolakku, tapi belum bisa terima.  Ah... masa iya. Aku baca lagi sms itu. tapi iya benar kok, dia tidak menolakku. Hanya belum bisa menerima. Seperti angin surga yang mengipasiku. Jawaban Zhara begitu menyejukan hatiku. Tapi amarah telah membakarku, sehingga kalimat ketus selalu lolos terketik untuk dikirim

 Kenal yang seperti apalagi sih, Dear? Kita udah berteman lama kan?. Tapi,Iya, oke, aku akan berusaha menjadi yang terbaik buatmu. Kamu tahu bagaimana aku. Oke, aku akan kuliah sungguh-sungguh, lulus segera dan sukses. Aku tidak ingin bahagia sendiri, tapi bahagia bersamamu”.

Ia tak menjawab. Aku merasa bersalah karena marah.

Sesaat kemudian, sms dari Tinya juga memberondongku.

“Peluangmu itu besar. Zhara itu tidak mau pacar-pacaran. Taaruf kenal, nikah itu. wajar jika dia ingin pendamping hidupnya sudah sukses dan mapan. Dia tak mau mengalami kegagalan seperti yang dialami kakaknya. Apalagi kamu tahu sendiri dia hidup dengan ibu tiri. Dia takut kamu tak bisa menerima dia apa adanya. Pokoknya semangat, buktikan kepada Zhara kalau kamu serius dan bisa. Aku mendukungmu, karena aku tahu siapa saja lelaki yang berusaha mendekati Zhara, bahkan mereka tak segan memintaku menjadi mak comblangnya.tapi sebagai sahabat, aku tak mau Zhara kecewa. Jadi aku berhak menyeleksi siapa saja yang boleh dekat sama Zhara.... kalau kamu pingin lolos audisi ini, bawa gula 1 kg, sma beras kerumahku SEGERA...!!wkwkwk...”

Sial.... masih aja cengengesan. Tidak tahu apa aku hampir pingsan atas kejadian hari ini. Tapi terima kasih Tyna, aku tahu kau adalah sahabatku. 

Kini aku pahami satu hal lagi tentang Zhara, bahwa dia tak ingin buang-buang waktu untuk pacaran. Pinginnya langsung menikah. Benar juga memang. Kadang pacaran lama, tak menjamin berakhir di pelaminan. Banyak contoh disekitarku hal semacam itu. Tapi, hubungan tanpa status seperti ini membuatku khawatir kalau-kalau dia diambil orang. 

Huft... pasrahlah. Toh dia juga mengharap ridho-Nya. Demikian juga aku. Kalau berjodoh, besok juga ketemu. 

“Yang jelas aku tetap mengharapakanmu, Zhar”.

Aku bangkit mengambil bantal stroberi yang kulempar, meraih manik-manik stroberi di meja untukku peluk hingga tertidur.

“Met bobo Zhara...”.

Aku akan berjuang, untukmu, untukku dan untuk kita. Iya itu, tidak ada kamu, tidak ada aku, yang ada hanya kita. aamiin

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Cerita pendek : Manik-manik stroberi

0 komentar: