kumpulan cerpen : cerita pendek terbaru, kumpulan puisi, novel, serta hal-hal menarik yang terjadi disekitar kita.....

cerita pendek cinta : PELANGI DI ATAS KERTAS BURAM

 kumpulan cerita pendek terbaru
Aku tak pernah bermimpi atau pun berkhayal tentang hari ini. Pria dengan mata sipit mirip tokoh-tokoh jahat di film-film mandarin itu kembali hadir dengan ketidaksengajaan.

Facebook, sebuah situs jejaring sosial yang bisa mempertemukan kita dengan siapa saja, termasuk dengan Ie pria dari masa laluku.
Ada rasa cemas dalam hati. Ketika Ie intens menyapaku dalam bilik-bilik rahasia, seperti juga malam ini.

“Pu, boleh aku tanya sesuatu tentang masa lalu kita?” Deg, hatiku berdegup kencang, kupandangi layar 14 inci itu lamat-lamat. Ah, bodoh! Mengapa harus menerima pertemanan darinya?! kembali aku mengetik balasan tanya “Apa?’' dan menekan tombol enter.

kumpulan cerita pendek terbaru
“Usia itu rahasia Tuhan Pu, entah sampai kapan aku masih bisa bernapas. Mungkin saja Tuhan berbaik hati memberikan umur panjang padaku. Tapi, bagaimana bila Dia berkehendak lain, tahun depan, bulan depan, minggu depan, atau besok? Siapa yang tahu.”

Kali ini, aku benar-benar kehilangan kata, Ie mengungkit kisah tiga belas tahun yang lalu. Berdamai dengan waktu, hanya sebuah wancana, nyatanya aku, belum bisa benar-benar melupakannya, bahkan sesuatu yang bernama cinta, masih tersimpan rapi di palung hati. Aku terpejam sebutir air lepas di sudut mata.

“Tolong, Pu, bisa kita bertemu?” kembali kubaca pesan masuk dari lelaki yang pernah memberi warna pada hidupku dulu.

Menghela napas panjang aku tak lagi punya pilihan tuk mengelak, sedikit meragu kuketik jawaban “Oke” dan dengan cepat sinyal satelit itu menyampaikan padanya di tempat yang berbeda. Ie, memang harus tahu soal ini.

**

Minggu siang, udara begitu panas terasa saat aku berdiri di pelataran parkir minimarket, tak lama sebuah mobil keluaran jepang berhenti di depanku. Ie dengan agak canggung tersenyum membukakan pintu, sementara aku langsung masuk tanpa berani menatap wajahnya.

Berbohong butuh ketrampilan khusus. Jangan pernah mencoba jika tak mempunyai gen atau darah dari seorang penipu, gesture kami gelisah ketika untuk pertama kalinya harus bertemu dalam satu ruang. Tak jarang aku juga Ie, meremas sesuatu sebagai bahan pengalih.

“Apa kabar sehat?” tanyanya seperti hembusan angin terdengar, sebuah pertanyaan terlewat basi setelah berkali-kali kami berbicara dalam media sosial. Aku hanya meliriknya dan membuat lengkungan garis tipis pada bibir.

Menit berikutnya, dalam bahasa inggris Ie berusaha meminta maaf. Terdengar tulus, tapi bagiku, semuanya biasa saja, meminta maaf, untuk hal yang sudah jauh kumaafkan. Aku lebih tertarik untuk mencermati apa saja yang terlewat dari kaca jendela. Sesekali saja ku lirik pria di sampingku, tak banyak yang berubah.

Hanya saja sedikit garis dewasa nampak di wajahnya.

Tiga puluh menit terasa lambat dalam putaran roda empat, sampai akhirnya mobil yang membawa kami berhenti pada sebuah mall besar.

Dalam arena bermain anak yang cukup luas, sekilas aku dapat membaca pikirannya, rasa ingin tahu yang begitu besar juga mungkin sebuah kerinduan yang ia simpan membuat pria berpostur kurus itu ragu dan malu untuk mendekat.

Aku, tetap mencintai Ie, seorang pria dari masa lalu, Karena memang sulit menghapus jejaknya dalam kehidupanku. Lima belas menit suasana kaku mencair, akhirnya kami dapat bermain dan tertawa bersama.

“Ibu ada minum ga?” Tanya Gie, aku merogoh botol air mineral dari dalam tas, melirik Ie sekilas lalu memberikan botol itu pada Gie putriku.

“Main lagi yuk! kalau Gie berhasil dapat poin banyak, Om kasih sesuatu deh” ajak Ie, kedua bola mata gadis kecil itu menatapku seolah meminta pendapat. Aku tersenyum dan mengiyakan dengan isyarat mata.

Empat jam berlalu, melihat Gie tengah asyik bermain dengan pria masa laluku. Menghela napas panjang, “Tuhan, entah apa rencana-Mu atas semua pertemuan ini” gumanku

****

Lima bulan sejak pertemuan itu, kami sering bertemu, Ie banyak menghadiahi Gie dengan barang-barang bagus, makan bersama, jalan di mall, menonton film anak di bioskop atau pergi ke tempat-tempat wisata.

Seketika hidupku pun kembali berwarna, selalu ceria, ada tawa ketika Ie menyapa, bercerita tentang sehari-hari dan berujung saling ledek. Lelaki itu memang selalu menghadirkan pelangi.

Hingga suatu malam, Ie kembali serius memintaku satu hal tentang Gie seperti biasa dalam percakapan kami di dunia maya.

“Pu, aku tak mau kehilangan jejak Gie sepeninggalku nanti. Aku ingin keluarga besarku tau soal ini” lama kutatap kalimat yang selalu aku takuti.

“Aku belum siap Ie” balasku.

Dengan cepat pula Ie kembali mengirim pesan

“Ayolah Pu, ini sudah saatnya, aku mohon”

“Tapi bagaimana dengan aku Ie? Aku ga mau ada anggapan negatif dari keluarga kamu soal Gie, aku tak ingin mereka menilai kalau kami muncul lagi di kehidupan kamu hanya untuk menuntut sesuatu dari kamu, aku ga mau!” balasku di sertai embun di mata.

“Ayolah Pu aku yakin mereka mengerti, mereka bukan anak kecil lagi, pasti bisa terima”
Napasku semakin cepat, kenangan-kenangan lama itu kembali menggugah pikiranku.

“Kamu egois Ie, kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri, keinginan kamu” kini aku tak dapat menahan lagi air dari mata, emosi menaik seiring kecepatan tangan mengetik kalimat-kalimatpada pria yang kini menghiasi hari-hariku.
kumpulan cerita pendek terbaru
“Kenapa kamu memaksa aku Ie?

“Kemana kamu selama ini?”

“Kenapa kamu tak mencari Gie dari dulu?”

“Padahal kamu juga tau soal Gie sudah lama!”

Rentetan pertanyaan itu aku kirim dengan cepat, seiring tangis yang kini sudah pecah. Entahlah aku belum bisa mengahapus semua sakit itu. Tanpa komando tiba-tiba peristiwa-peristiwa menyakitkan kembali hadir dalam lamunanku.

Betapa pelukan Ie dulu adalah sebuah tipuan ketika Ie mengatakan berpisah adalah jalan terbaik untukku, berulang kali aku meminta tak ingin berpisah, tapi laki-laki berwajah tirus itu menyakinkanku jika terus bersama hanya akan merusak diriku.

Merusak? Bukankah aku sudah rusak Ie? Bukankah aku sudah hancur? Namun dengan mudahnya aku melemah dan menjawab iya, saat Ie memelukku sebagai tanda akhir perpisahan tiga belas tahun lalu.

Setelah perpisahan itu, aku melewati malam-malam panjang dengan mimpi-mimpi menyesakan. ketika rasa rindu hadir, menatap langit-langit kamar yang melukis jelas bayang wajahnya, membenamkan wajah pada bantal, menggigit bibir erat-erat, agar tangisku tak pecah dan terdengar orang-orang rumah, sampai akhirnya sang kantuk berbaik hati menidurkan ku dalam isak tangis yang tertahan.

Dua minggu setelah itu aku mendengar kabar Ie bersama Aline. Satu buah nama yang aku temukan dalam buku telepon di rumahnya. Menggantikan nama ukiran yang biasa Ie buat PU

Dadaku semakin sesak mengingat itu semua, ya Tuhan hatiku hancur. Betapa bodohnya aku yang masih saja sempat bilang di hari terakhir kami bertemu dulu.

“Ie, kamu baik-baik ya, kuliah yang benar. Aku tidak akan mengganggu biar kamu bisa lebih fokus”

Namun ternyata Ie dan Aline sudah menelikungku. Apa yang bisa kulakukan waktu itu? Hanya lirih berdoa “Tuhan tolong hapus Ie dari pikiranku, biarkan aku tenang”. Namun semakin meminta dan berusaha keras, semakin aku tersiksa.

Masih aku ingat saat membakar foto-foto juga tulisan tentangnya, tersenyum getir memandang, saat api perlahan membakar kenangan-kenangan itu, lalu dalam hitungan detik berikutnya, aku terperanjat, meraih cepat kembali sisa-sisa dari apa yang sudah dibakar tanpa peduli panas pada tangan. Dan aku hanya mampu tergugu saat melihat sebagian foto-foto itu telah menghitam lalu badanku gemetar, terduduk lemas, memeluk sisa-sisa gambaran wajahnya. Menangis. Sendiri, di sudut kamar.

Tanda merah pada kotak kecil di sudut kanan laptop muncul membuyarkan lamunanku
“Pu, kamu tidak tidurkan?” pesan dari Ie kembali masuk.

Aku menyeka wajahku yang sembab, lalu mengetik pelan “Belum” kutekan tombol enter.

"Pu, kamu mau kan? Oke deh satu orang saja yang tau soal Gie di keluargaku, boleh ya?” Ie kembali mengirim pesan. Tetap memaksa, sipat kerasnya memang tak pernah berubah.

"Ie,sudah malam, aku ngantuk, bye", Balasku mengakhiri percakapan.

Mengantuk? Sebuah alasan klasik di saat orang tak ingin lagi terlibat dalam sebuah perdebatan atau perbincangan. karena jam-jam berikutnya aku habiskan dalam kegelisahan sampai pagi menjelang tanpa rasa kantuk.

Pagi berlalu tenang seolah tak terjadi apa-apa tadi malam. Ditemani secangkir susu coklat, kembali kubuka laptop di atas meja dekat jendela kamar. Aroma wangi tanah terguyur hujan di waktu subuh masih dapat tercium. Menenangkan.

Hari ini beberapa artikel harus segera kurapikan. Sejak setahun lalu aku menjadi penulis di salah satu blog milik temanku, hasilnya cukup lumayan untuk menambah-nambahmenghidupi aku juga Gie. Terkadang aku juga mengirim beberapa karya seperti prosa, puisi atau cerpen ke beberapa majalah dan surat kabar.

Penasaran mendengar cekikikan suara Gie, kualihkan pandangan ke belakang kursi, terlihat Gie tengah senyum-senyum menatap layar handphonenya.

“Hayoo, pagi-pagi udah sms an, siapa sih?” selidikku dengan sempurna membalikan badan menatap putriku di atas tempat tidur.

“Ini dari Om Ie Bu, nanyain sore jadi ga ke toko buku” Gie menjawab dengan masih tersenyum-senyum menatap layar handponenya, “ohya, memang hp ibu ga aktif?” lanjutnya balik bertanya.

Aku melirik benda berwarna merah di meja, tidak aktif? Ohya semalam aku sengaja mematikannya, menghindari obrolan dengan Ie.

“Nanti aja deh minggu depan, sore ibu mau ke kantor majalah” jawabku seraya menghidupkan layar handphoneku.

“Bu, kata Om Ie, sore ke kantor majalahnya di anterin aja, emang ibu lagi marahan ya hehehe” aku kembali membalikan badan kea rah Gie, mengambil handpone yang tengah dipegangnya, membaca pesan-pesan masuk dari Ie. Pelangi itu kembali hadir melengkung tipis di bibirku.

Entahlah, pria itu sering membuat gerimis di hati, tapi dengan cepat pula kembali member pelangi atau hatiku yang selalu lemah dan memaafkannya?
kumpulan cerita pendek terbaru
13.30 melirik jam digital di handpone, Gie pasti sudah berada di tempat les, dengan penuh hati-hati kupindahkan naskah-naskah dari ms word ke flashdisk “Semoga hasilnya bisa memuaskan dan tak perlu banyak revisi, aamiin” gumanku.

Sebuah lagu milik milik Bruno Mars terdengar dari handphoneku, tanda penyeranta mengirimkna pesan.

“Hai, susah banget dihubungi, sedang sibuk? Atau karena obrolan semalam? Maaf ya Pu, oke jika kamu belum siap. Balas! kalau engga berarti kamu mengakui kamu masih cinta sama aku ya kan? hahaha”

Kubaca pesan dari Ie, tertawa kecil, “masih mencintainya? Huh! Benar-benar pede pake banget nih orang” gerutuku namun dengan senyum yang terus mengembang.

“Aku lagi dikejar dead line Ie, sore mau ketemu pimpinan redaksi” balasku

Dua menit kemudian terbaca pesan masuk dari Ie “Wah keren tuh, obrolan serius kah? Aku antar ya Pu?” aku menghela napas kemudian kembali mengetik huruf-huruf pada keypad.

“Ga usah, aku bisa kok sendiri, thanks”

“Bukan gitu juga sih, aku ada perlu ke arah sana, sekalian jalan oke? Aku jemput di tempat biasa ya” Ie tetap memaksa dan aku kembali tak mampu menolak, ku ketik kata “Oke” lalu mengirimkannya.

Sore yang hangat, mentari masih bersinar terang walau sudah mencondong ke barat, bergegas ku ayun langkah menuju sebuah mini market di ujung jalan dekat rumah.

Dari kejauhan terlihat pria dengan tinggi lebih 10 centi dariku itu tengah membungkukkan badan mengamati ban mobilnya.

“Hai, kenapa? Kempes? Kurang angin?” sapaku bertanya menghampiri. Ie memandangku, tersenyum lalu tertawa kecil kembali memperhatikankudari atas sampai bawah.

“Ie, kenapa sih? Salah ya kostum yang aku pakai?” tanyaku menatap pria yang semakin memperlihatkan dekik di pipinya.

“Waktu sudah merubah semua yang ada di diri kamu ya Pu, termasuk ya penampilan kamu” Ie menatapku lebih dalam seketika membuat pandangan kami bertemu di titik pusat yang sama, ada hawa panas menjalar mulai dari leher naik ke pipi dan pelipis. Lima detik waktu yang membuat aku merasakan desir masa lalu.

“Alah, mulai deh, ayo! aku takut kita terjebak macet” ajakku dengan gerakan cepat membuka pintu mobil meninggalkan Ie yang masih berdiri tersenyum melihatku.

Hening tanpa kata terasa demikian nikmat. Sebuah alunan milik Shania Twain You are still the one terdengar menyempurnakan suasana.

Sesekali kulirik pria di sampingku. Ie masih tetap mengulum senyum bahkan mengerlingkan matanya, dan aku hanya bisa menggeleng tertawa kecil.

Setengah berlari kecil, aku memasuki pelataran lobby kantor majalah, tak peduli Ie yang berteriak memintaku menunggu. Aku hanya melemparkan senyum dan mempercepat langkah menghampiri petugas resepsionis.

“Mba, bu Martha nya ada?” tanyaku sedikit mengatur napas.

“Ada, ini dengan mba …” terlihat perempuan muda itu mengingat-ingatsesuatu.
kumpulan cerita pendek terbaru
“Puan Rinjani” jawabku menyunggingkan senyum.

“Oh ya, mba Puan sudah di tunggu ibu dari tadi, silahkan mba” resepsionis yang terlihat ramah itu mengantarkanku ke ruang pimpinan redaksi.

Sambil berjalan mengikuti langkah perempuan di depanku, kembali ku lihat Ie yang tengah duduk di kursi tamu. Aku mengakat bahu dan mengusap-usap dada lalu sedikit memicingkan mata.

Ie memberikan isyarat dengan membentuk gerakan jari membentuk huruf o lalu mengacungkan jempol tertawa ke arahku. Dan kami tersenyum bersama dari jarak jauh.

Dalam ruangan yang cukup besar aku melihat seorang perempuan paruh baya masih sangat terlihat cantik dalam baluitan blazer biru muda, senyumnya mengembang ke arahku.

“Selamat datang mba Puan” sapanya mengulurkan tangan. Aku membalasnya dengan tersenyum seraya menganggukan kepala.

Empat puluh menit kami larut dalam obrolan cukup serius, ini soal karierku di kepenulisan, aku berusaha menyakinkan beliau dengan memperlihatkan kumpulan-kumpulan cerpen yang sudah aku siapkan.

Terlihat pimpinan redaksi itu beberapa kali mengerenyitkan dahi, lalu tersenyum puas. Satu jam berlalu akhirnya kami menemukan kata sepakat. Tiga hari lagi aku di minta kembali, untuk menandatangani kontrak.
Keluar ruangan dengan napas lega, menghampiri Ie yang tengah asyik dengan Gadgetnya, berpura-pura memperlihatkan wajah murung.

“Kenapa, gagal?’ Tanya Ie menatapku serius.
Aku menarik napas, lalu menarik kedua ujung bibirku ke atas, dan berseru kecil, “Aku berhasil Ie!”

“Benar? Good Job Pu” Ie merentangkan kedua tangannya aku sedikit mendongakkan kepala lalu tersenyum, menggeleng pelan

“Katanya mau di peluk tadi malam …” Ie tersenyum menggodaku

“Ah, ga begini juga kali” aku menyinggung bahunya lantas bejalan menuju pintu keluar.
Ie bergegas bangun dari duduknya, menyusul langkahku, “Trus, maunya yang seperti apa memang? hahaha”

“Berisik wew” aku tersenyum menjulurkan lidah lalu membuka pintu mobil, dengan cepat pria bertubuh kurus itu menyambutku di dalam.

“Payah ah, beraninya Cuma di kata-kata aja” Ie menatapku begitu dekat, memasang muka so manis.

“Hahaha, udah ah ayo pulang, kasian Gie di rumah sendiri” Dengan spontan tanganku menyentuh pipi Ie agar cepat menatap ke arah kemudi, Ie terlihat tersenyum puas melihatku tersipu malu.

Duduk berdua, meikmati pemandangan malam dari dalam kaca mobil. Entah mengapa, bersam Pria dari masa laluku ini, ada perasaan terbuai akan kenyaman. Ie selalu memberi pelangi pada hari-hariku. Bahkan kejutan-kejutankecil. Untukku juga Gie.

Sering muncul tiba-tiba, tanpa kami minta atau mengadakan janji terlebih dahulu. Memasang wajah penuh senyum ketika aku atau Gie membukakan pintu dengan sesuatu di tangannya, entah itu makanan, beberapa keping compact disk film, atau buku-buku bagus.

Gie, tentu saja. Gadis kecil itu semakin hari bertambah dekat dengan Ie, sosok Ayah yang akrab Ia panggil Om. Kami sering hunting foto bertiga, mengikutkan hasil jepretannya dalam berbagai lomba. Terkadang aku dan Ie, saling bertanya, Gie punya bakat memotret dari siapa? Lalu kami akan saling unjuk dan meledek, karena kami berdua tak punya wajah se-foto genic Gie.

Trimkasih tuhan, untuk semua kebahagiaan yang telah kau hadirkan ini.

Sampai suatu hari Ie menghilang tanpa kabar, ada rasa ingin menghubunginya namun segera kuurungkan. Pria bermata sipit itu pasti akan meledekku lalu bilang “Kangen yaa…” hemm aku tertawa sendiri mengingat segala gurauannya.

Tapi, hati kecilku tak dapat dibohongi, bahwa bulir-bulir rindu tengah menggelayut manja di pucuk-pucuk hati, semakin lama aku tahan semakin berat. Ku arahkan tangan pada tombol switch di laptop. Mencoba mengkoneksikan dengan jaringan internet, lalu hanya dalam hitungan menit, aku berhasil terhubung dengan orang-orang di seluruh dunia.

Tanganku mengetik nama Idhwal Yudistira pada kolom pencarian lantas menekan tombol search dan membiarkan perangkat komputer itu menampilkan segala tentang Ie dalam beberapa menit.

“Deg-degan deh, sebulan lagi kamu akan mengikatku dalam hubungan yang lebih serius. Terimakasih my honey bunny lovely” with Idhwal Yudistira.

Renata, siapa nama gadis yang telah menandai Ie dalam status di facebooknya? Mengatur napas perlahan, ku tekan mouse terus ke bawah profil pria yang biasa ku sapa Ie.

“Hahaha, badannya kamu terlalu kurus sih Honey, sampai lingkar pinggangnya kecil begitu‪ Fitting ‬baju” bersama Idhwal Yuditira
Kembali kurasakan panas pada leher, menjalar ke pipi lalu naik ke pelipis.memijatkening perlahan. Renata? Siapa Renata? Dengan rasa penuh ingin tahu, kutekan tanda panah pada nama asing itu.

Sebuah akun gadis muda dengan rambut sebahu terlihat di monitorku sekarang. Hampir setengah jam kutelusuri jejak gadis itu, Renata punya hubungan serius dengan Ie, dari status-statusnya aku tahu mereka akan bertunangan satu bulan lagi!

Ya Tuhan permainan apa ini Ie? Begitu manisnya kamu bersikap, sampai untuk yang kesekian kalinya kamu berhasil tipu aku! Brengsek kamu Ie! pekikku dalam hati.
 kumpulan cerita pendek terbaru

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : cerita pendek cinta : PELANGI DI ATAS KERTAS BURAM