kumpulan cerpen : cerita pendek terbaru, kumpulan puisi, novel, serta hal-hal menarik yang terjadi disekitar kita.....

Cerita pendek : Penggalan Kisah “Tak Seindah Pelangi”


Kusibakkan tirai berwarna hijau tua jendela kaca yang lumayan lebar. Kulihat nampak hijaunya lapangan apel. Kembali  ingatanku saat suamiku mendamping  Danyon memberi pengarahan kepada lima ratus prajurit yang akan berangkat menunaikan tugas ke ujung timur indonesia. Begitu gagahnya mereka, memanggul ransel bertopi rimba dan menyandang senjata. Saat itu kata-kata yang di ucapkan Danyon berhasi l membakar semangat juang semua prajurit. Jawaban serentak, yel-yel yang kompak dan jiwa korsa yang dibakar membuat suasana saat itu begitu penuh api perjuangan. Tetapi itu bayangan setahun yang lalu setelah upacara pelepasan. Tangis pilu anak-anak memanggil ayahnya, senyum manis tertahan rasa bangga dan kesedihan ibu-ibu melepas keberangkatan suaminya dan berharap kembali dengan selamat membuat suasana haru kala itu.

“Tok.....tok...tok... selamat pagi ibu,  ijin.... semua anggota sudah siap diaula...”. Suara seorang anggota menghentikan lamunanku.

“iya, sebentar lagi....saya kesana”
“siap terimakasih...”.

                Anggota itupun berlalu.  Kulirik meja kerja suamiku. Kulihat sebuah fotoku, dan Adit anak suamiku dengan istri pertamanya. Saat ini  beban dipundakku terlalu berat hingga untuk menolehpun kurasa  tak sanggup. Untuk berjalan serasa terseok-seok, apalagi harus menatap jauh kedepan. Badai yang kulalui begitu kencang hingga tiang penyangga layar terkoyak. Perahu yang kunaiki terhempas oleh gulungan ombak yang bertubi-tubi. Tapi aku harus kuat. Aku harus terus bertahan. Aku harus terus mengayuh ketepian ketempat yang aman.

“Bunda, titip Adit.... semua istri dan anak-anak anggota. Kunjungi mereka kerumah kalau ada waktu luang.  bunda yang tabah ya.... bunda harus kuat, bunda harus bisa jadi panutan mereka. Dampingi ibu Danyon memimpin ibu-ibu disini. Ajak mereka selalu mendoakan suami-suaminya. Ingatkan hati-hati dan sabar mendidik putra-putrinya, dan selalu setia menunggu kedatangan kita” . Disini, ya diruangan ini Mas Dimas suamiku yang menjabat sebagai Wadanyon memelukku dan mengucapkan pesan terakir sebelum berangkat. Aku tidak menyangka jika akan  berakhir seperti  saat ini.

                Aku harus bagaimana?, aku harus mulai darimana? Menyampaikan kenyataan pahit didepan para Istri prajurit  yang seharusnya hari ini adalah hari upacara penyambutan suaminya. Oh Tuhan.... belum juga aku bisa membuat airmata bu Joni dan bu Heru berhenti menitik karena suaminya gugur bulan lalu dan pulang dalam peti berbungkus bendera merah putih. Belum juga aku bisa mengembalikan senyum Edo dan Santi putra putrinya. Dadaku sesak, kakiku gemetar, bibirku kelu,dan bendung air mataku rutuh setelah empat hari yang lalu aku jaga. Bulir-bulir bening hangat mulai melintas dipipiku. Hidungku memerah dan air tak dapat ku tahan lagi.
                Hari ini aku harus mewakili ibu Danyon memang sudah lama sakit yang kini dirawat karena shok berat atas gugurnya Danyon. Aku harus menyampaikan berita pahit kepada ibu-ibu yang suaminya gugur karena kapal yang mengankut pasukan diterjang badai dilaut Banda. Sebagian dari mereka ada yang gugur, selamat, dan ada yang belum ditemukan termasuk Mas Dimas suamiku. 

Kutarik nafas panjang , kuusap air mata ini, kutegakkan badan dan menggumam dalam hati. Aku harus tegar, aku harus bisa jadipanutan, aku harus kuat.

“tok...tok..... “ suara pintu kembali diketuk. Seorang anggota kembali datang. 

“ijin ibu, ibu-ibu sudah menunggu..” ucapnya.

“iya aku kesana sekarang” jawabku lirih . mungkin anggukanku yang membuatnya minta ijin berlalu.

                Dengan langkah pasti penuh keyakinan aku keluar menuju aula. Kudapati beberapa anak becerita. Kudengar salah satu diantar mereka mengucapkan sesuatu yang membuat langkah pastiku kembali gotai.
“icha, kata ayah nanti kalau pulang mau bawain coklat papua...”

“kalau ayahku mau bawain mobil-mobilan buat adik, terus nanti kalau ayah datang mau ajak kita pulang ke Makasar kerumah nenek...” ucap Dinda. Setahuku Dinda adalah putri serka Herman yang juga gugur.

                Tidak kusadari kertas berisikan nama-nama prajurit yang gurur dan yang belum ditemukan kuremas-remas hingga kusut. Kembali air mata ini harus kutahan hingga perih kurasa. Langkahku tidak setegap tadi kini langkahku gontai mendengar sayup sayup dari dalam aula terdengar suara lagu mars Persit yang dinyanyikan ibu-ibu.

“bersatulah kartika Chandra Kirana

Membantu, memupuk, membangun

Mendorong suami kemedan juang untuk nusa dan bangsa

Berikanlah semangat kepada tugasnya mempertahankan Indonesia

Hiduplah Kartika Chandra Kirana Hiduplah bersaudara

Untuk selama-lamanya”

                Lirik lagu itu ternyata mampu memberiku sedikit energi untuk memasuki ruangan. Aku kembali harus berjuang menahan gundah gulana dihatiku ketika aku melihat wajah-wajah sendu ibu-ibu berpakain hijau muda. Aku yakin pemberitaan di TV sudah membuat mereka sedih. Ada dua puluh ibu yang harus kuberikan kabar pahit.

                Setelah memutar-mutar kata, menyampaikan naseht-nasehat tibalah saatnya kubacakan kedua puluh anggota yang gugur dan kesepuluh anggota yang belum ditemukan.

Sekejap suasana begitu hening, bahkan jam dinding terasa berhenti berdetak ketika kubacakan semua. Aku heran mengapa justru suasana menjadi hening. Kuangkat kepalaku dan berjalan mendekat pada mereka. Ku hampiri ibu Heri yang diam meremas-remas roknya. Dengan suara serak terbata-bata aku bertanya padanya.

‘bu, kalau ibu mau menangis-menangislah...kalau ibu mau menjerit-menjeritlah....”

Kurangkul dan kugengnggam tangannya. Dia hanya diam membisu dan tetap meremas-remas roknya. Ganti kudekati bu Kusmiaji yang suaminya juga gugur.

“bu, doakan bapak ya, semoga bapak menjadi syahid.... ibu ayo gak apa-apa kok kalau mau menangis.....”  .
                Dia juga diam membisu dan kulihat kesemua penjuru ruangan semua juga tidak ada yang menagis. Aku bingung, apa yang terjadi, mengapa mereka hanya diam? Apakah mereka belum percaya kalau suami mereka telah gugur? Apkah aku kurang jelas menyampaikan?. Aku berdiri diantara ibu-ibu yang memndangiku. Aku bak orang pesakitan yang menunggu hukuman. Kudekati lagi bu Syafei yang suaminya juga gugur. Bu Syafei sudah lama mendapingi suaminya dan hidup dilingkungan asrama. 

“bu, ke......kenapa ibu-ibu justru diam?”

“ijin ibu, kami pantang menagis menyambut kedatangan suami kami bu, kami akan menyambut bapak tanpa air mata, agar bapak bangga dan senang melihat kita bu..”

                Ucapan itu bagai hujan air es menyirami gurun gersang bertahun-tahun. Aku tidak menyangka begitu besar jiwa persit yang tertanam dihati mereka. Aku, aku hanya istri pimpinan yang masih kalah pengalaman dengan mereka. Sungguh pelajaran yang berharga. Mental-mental baja para istri pendamping prajurit benteng terkhir bangsa.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Cerita pendek : Penggalan Kisah “Tak Seindah Pelangi”

0 komentar: